Selasa, 13 Januari 2009

2 Manusia Super di Jembatan Setiabudi

Tanpa disadari terkadang sikap apatis menyertai saat langkah kaki mengarungi tuk coba taklukkan ibukota negri ini. Semoga kita selalu diingatkan.

Siang ini tanpa sengaja, saya bertemu dua manusia super.
Mereka mahluk mahluk kecil, kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya di atas jembatan penyeberangan setia budi, dua sosok kecil berumur kira kiradelapan tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastik hitam. Saat menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue diujung jembatan, dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta saya hanya mengangkat tangan lebar lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan "Terima kasih Oom !". Saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk kearah mereka.

Kaki - kaki kecil mereka menjelajah lajur lain diatas jembatan , menyapa
seorang laki laki lain dengan tetap berpolah seorang anak kecil yang penuh keceriaan, laki laki itupun menolak dengan gaya yang sama dengan saya, lagi lagi sayup sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil mereka. Kantong hitam tampat stok tissue dagangan mereka tetap teronggok disudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta . Saya melewatinya dengan lirikan kearah dalam kantong itu , duapertiga terisi tissue putih berbalut plastik transparan .

Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli seorang perempuan, senyum di wajah mereka terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang manggayut langit Jakarta. "Terima kasih ya mbak .semuanya dua ribu lima ratus rupiah!" tukas mereka, tak lama si peremerogoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah.

"Maaf, nggak ada kembaliannya ..ada uang pas nggak mbak ? " mereka
menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng, lalu dengan
sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah
mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.

"Om boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan?" suaranya mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka sedikit terhenyak saya merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian food court sebesar empat ribu rupiah.

" Nggak punya," tukas saya. Lalu tak lama si perempuan berkata, "ambil saja kembaliannya, dik!" sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya ke arah ujung sebelah timur.

Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya kegenggaman saya yang masih tetap berhenti , lalu ia mengejar perempuan tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Si perempuan kaget, setengah berteriak ia bilang "sudah buat kamu saja , nggak apa..apa ambil saja!". Namun mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. "Maaf mbak, cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan !" Akhirnya uang itu diterima si perempuan karena si kecil pergi meninggalkannya.

Tinggallah episode saya dan mereka, uang sepuluh ribu digenggaman saya tentu bukan sepenuhnya milik saya . mereka menghampiri saya dan berujar " Om, bisa tunggu ya , saya kebawah dulu untuk tukar uang ketukang ojek!".

" Eh .nggak usah ..nggak usah ..biar aja ..nih !" saya kasih uang itu ke
si kecil, ia menerimanya tapi terus berlari kebawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek.

Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya, " Nanti dulu Om , biar ditukar dulu ..sebentar "
" Nggak apa apa , itu buat kalian " Lanjut saya
" Jangan ..jangan Om , itu uang om sama mbak yang tadi juga " anak itu
bersikeras
" Sudah ..saya Ikhlas , mbak tadi juga pasti ikhlas ! saya berusaha
membargain, namun ia menghalangi saya sejenak dan berlari keujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat , secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari kearah saya.

" Ini deh om , kalau kelamaan , maaf .." ia memberi saya delapan pack
tissue.
" Buat apa ?" saya terbengong
" Habis teman saya lama sih Om, maaf, tukar pakai tissue saja dulu " walau dikembalikan ia tetap menolak .

Saya tatap wajahnya , perasaan bersalah muncul pada rona mukanya . Saya kalah set , ia tetap kukuh menutup rapat tas plastic hitam tissuenya .
Beberapa saat saya mematung di sana, sampai sikecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu, dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribu rupiah.

"Terima kasih Om, !"..mereka kembali keujung jembatan sambil sayup sayup terdengar percakapan " Duit mbak tadi gimana ..? " suara kecil yang lain menyahut " lu hafal kan orangnya , kali aja ketemu lagi ntar kita kasihin ..." percakapan itu sayup sayup menghilang , saya terhenyak dan kembali kekantor dengan seribu perasaan.

Tuhan ..Hari ini saya belajar dari dua manusia super, kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya trenyuh, mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra, mereka tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka berusaha tak meminta minta dengan berdagang Tissue. Dua anak kecil yang bahkan belum baligh , memiliki kemuliaan diumur mereka yang begitu belia.

YOU ARE ONLY AS HONORABLE AS WHAT YOU DO

Engkau hanya semulia yang kau kerjakan. Saya membandingkan keserakahan kita , yang tak pernah ingin sedikitpun berkurang rizki kita meski dalam rizki itu sebetulnya ada milik orang lain .

"Usia memang tidak menjamin kita menjadi Bijaksana, kitalah yang memilih untuk menjadi bijaksana atau tidak"



Sumber: conectique.com

7th Habits To Make You Richer

Kebiasaan mengucapkan syukur
Ini adalah kebiasaan istimewa yang bisa mengubah hidup selalu menjadi lebih baik. Bahkan agama mendorong kita bersyukur tidak saja untuk hal-hal yang baik , tapi juga dalam kesusahan dan hari-hari yang buruk...... Ada rahasia besar dibalik ucapan syukur yang sudah terbukti sepanjang sejarah. Hellen Keller yang buta dan tuli sejak usia dua tahun, telah menjadi orang yang terkenal dan dikagumi diseluruh dunia. Salah satu ucapannya yang banyak memotivasi orang adalah “Aku bersyukur atas cacat-cacat ini aku menemukan diriku, pekerjaanku dan TUHAN-ku Memang sulit untuk mengucap syukur terhadap segala `kesusahan`, `kegagalan`, hambatan` maupun `kekurangan` dan sejenisnya. Namun kita bisa belajar secara bertahap. Mulailah mensyukuri kehidupan, mensyukuri berkat, kesyihatan, keluarga, sahabat dsb. Lama kelamaan kita bahkan bisa bersyukur atas kesusahan dan situasi yang buruk.

Kebiasaan berpikir positif
"You are what you think!" Hidup dibentuk oleh apa yang paling sering kita pikirkan. Kalau selalu berpikiran positif, kita cenderung menjadi pribadi yang yang positif. Ciri-ciri dari pikiran yang positif selalu mengarah kepada kebenaran, kebaikan, kasih sayang, harapan dan suka cita. Sering-seringlah memantau apa yang sedang dipikirkan. Kalau terbenam dalam pikiran negatif, kendalikanlah segera ke arah yang positif. Jadikanlah berpikir positif sebagai kebiasaan dan lihatlah betapa banyak hal-hal positif sebagai kebiasaan dan lihatlah betapa banyak hal-hal positif yang akan dialami.

Kebiasaan menabur benih

Prinsip tabur benih ini berlaku dalam kehidupan. Pada waktunya kita akan `menuai` apa yang kita `tabur`. Taburkanlah egoisme, kebencian antar kelompok, kemalasan, gosip, hasutan, adu domba dan sejenisnya dan.......lihatlah dan buktikan apa yang akan dituai. Bayangkanlah, betapa kayanya hidup bila yang ditebar selalu benih ‘kebaikan’. Sebaliknya, betapa miskinnya bila yang rajin ditabur adalah keburukan.

Kebiasaan berempati

Kemampuan berhubungan dengan orang lain merupakan kelebihan yang berharga. Dan salah satu unsur penting dalam berhubungan dengan orang lain adalah empati, kemampuan atau kepekaan untuk memandang dari sudut pandang orang lain. Orang yang berempati cenderung bisa merasakan perasaan orang lain, mengerti keinginannya dan menangkap motif dibalik sikap orang lain. Ini berlawanan dengan sikap egois, yang justru menuntut diperhatikan dan dimengerti orang lain. Meskipun tidak semua orang mudah berempati, namun kita bisa belajar dengan membiasakan diri melakukan tindakan-tindakan yang empatik. Misalnya, jadilah pendengar yang baik, belajarlah menempatkan diri pada posisi orang lain, belajarlah melakukan lebih dulu apa yang kita ingin orang lain lakukan kepada kita.

Kebiasaan mendahulukan yang penting

Pikirkanlah apa saja yang paling penting, dan dahulukanlah! ! Jangan biarkan hidup kita terjebak dalam hal-hal yang tidak penting sementara hal-hal yang penting terabaikan. Mulailah memilah-milah mana yang penting dan mana yg tidak. Kebiasaan mendahulukan yang penting akan membuat hidup lebih efektif dan produktif dan berpengaruh terhadap pencitraan diri.

Kebiasaan bertindak

Bila kita sudah mempunyai pengetahuan, sudah mempunyai tujuan yang hendak dicapai dan sudah mempunyai kesadaran mengenai apa yang harus dilakukan, so langkah selanjutnya. ......bertindakl ah! Biasakan untuk menghargai waktu, lawanlah rasa malas dengan bersikap aktif. Kebanyakan orang yang gagal dalam hidup karena terlalu dikuasai `impian` dan hanya mempunyai tujuan tapi........ gagal melangkah! "A journey of thousand miles begin with......a single step!"

Kebiasaan berlaku jujur

Kejujuran adalah bagian dari pribadi yang utuh. Ketidakjujuran merusak harga diri dan masa depan kita sendiri. Mulailah terbiasa bersikap jujur, tidak saja kepada diri sendiri tapi juga terhadap orang lain. Mulailah mengatakan kebenaran, meskipun mengandung resiko. Bila terpaksa perlu berbohong, kendalikanlah kebohongan sedikit demi sedikit.


Sumber: conectique.com

Apa Yang Kita Sombongkan

Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua, yang benih-benihnya terlalu kerap muncul tanpa kita sadari. Di tingkat terbawah, sombong disebabkan oleh faktor materi. Kita merasa lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain.

Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh faktor kecerdasan. Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain.

Di tingkat ketiga, sombong disebabkan oleh faktor kebaikan. Kita sering menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.

Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit pula kita mendeteksinya. Sombong karena materi sangat mudah terlihat, namun sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.

Akar dari kesombongan ini adalah ego yang berlebihan. Pada tataran yang lumrah, ego menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri (self-esteem) dan kepercayaan diri (self-confidence) . Akan tetapi, begitu kedua hal ini berubah menjadi kebanggaan (pride), Anda sudah berada sangat dekat dengan kesombongan. Batas antara bangga dan sombong tidaklah terlalu jelas.

Kita sebenarnya terdiri dari dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan kesadaran sejati di lain kutub. Pada saat terlahir ke dunia, kita dalam keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Akan tetapi, seiring dengan waktu, kita mulai memupuk berbagai keinginan, lebih dari sekadar yang kita butuhkan dalam hidup. Keenam indra kita selalu mengatakan bahwa kita memerlukan lebih banyak lagi.

Perjalanan hidup cenderung menggiring kita menuju kutub ego. Ilusi ego inilah yang memperkenalkan kita kepada dualisme ketamakan (ekstrem suka) dan kebencian (ekstrem tidak suka). Inilah akar dari segala permasalahan.

Perjuangan melawan kesombongan merupakan perjuangan menuju kesadaran sejati. Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya, ada dua perubahan paradigma yang perlu kita lakukan. Pertama, kita perlu menyadari bahwa pada hakikatnya kita bukanlah makhluk fisik, tetapi makhluk spiritual. Kesejatian kita adalah spiritualitas, sementara tubuh fisik hanyalah sarana untuk hidup di dunia. Kita lahir dengan tangan kosong, dan (ingat!) kita pun akan mati dengan tangan kosong. Pandangan seperti ini akan membuat kita melihat semua makhluk dalam kesetaraan universal. Kita tidak akan lagi terkelabui oleh penampilan, label, dan segala "tampak luar" lainnya. Yang kini kita lihat adalah "tampak dalam". Pandangan seperti ini akan membantu menjauhkan kita dari berbagai kesombongan atau ilusi ego.

Kedua, kita perlu menyadari bahwa apapun perbuatan baik yang kita lakukan, semuanya itu semata-mata adalah juga demi diri kita sendiri. Kita memberikan sesuatu kepada orang lain adalah juga demi kita sendiri.

Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi. Energi yang kita berikan kepada dunia tak akan pernah musnah. Energi itu akan kembali kepada kita dalam bentuk yang lain. Kebaikan yang kita lakukan pasti akan kembali kepada kita dalam bentuk persahabatan, cinta kasih, makna hidup, maupun kepuasan batin yang mendalam. Jadi, setiap berbuat baik kepada pihak lain, kita sebenarnya sedang berbuat baik kepada diri kita sendiri. Kalau begitu, apa yang kita sombongkan dan ngapain juga sombong ?


Sumber: conectique.com

Bahasa Cinta

Bila cinta memanggilmu, turutlah bersamanya. Kendati jalan yang mesti engkau lalui sangat keras dan terjal. Ketika sayap-sayapnya merangkulmu, maka berserah dirilah padanya. Sekalipun pedang-pedang yang bersemayam di balik sayap-sayap itu mungkin akan melukaimu. Ketika ia bertutur kepadamu, maka percayalah padanya. Walaupun suaranya akan memporak porandakan mimpi-mimpimu laksana angin utara yang meluluh-lantakkan tetanaman

Cinta akan memahkotai dan menyalibmu. Menyuburkan dan mematikanmu. Membumbungkanmu terbang tinggi, mengelus pucuk-pucuk rerantinganmu yang lentik dan menerbangkanmu ke wajah matahari. Namun cinta juga akan mencekik dan menguruk-uruk akar-akarmu sampai tercabut dari perut bumi

Serupa dengan sekantong gandum, cinta menyatukan dirimu dengan dirinya. Meloloskanmu sampai engkau bugil bulat. Mengulitimu sampai engkau terlepas dari kulit luarmu. Melumatmu untuk memutihkanmu. Meremukkanmu sampai engkau menjelma liat.

Lantas,

Cinta akan membopongmu ke kobaran api cusinya. Sasampai engkau berubah menjadi roti yang disuguhkan dalam suatu jamuan agung kepada Tuhan

Cinta melakukan semua itu hanya untukmu sampai engkau berhasil menguak rahasia hatimu sendiri. Agar dalam pengertian itu engkau sanggup menjadi bagian dari kehidupan. Jangan sekali-kali engkau ijinkan ketakutan bersemayam di hatimu. Supaya engkau tidak memperbudak cinta hanya demi meraup kesenangan. Sebab memang akan jauh lebih mulia bagimu. ntuk segera menutupi aurat bugilmu dan meninggalkan altar pemujaan cinta. Memasuki alam yang tak mengenal musim. Yang akan membuatmu bebas tersenyum, tawa yang bukan bahak, hingga engkau pun akan menangis, air mata yang bukan tangisan

Cinta takkan pernah menganugerahkan apa pun kecuali wujudnya sendiri
Dan tidak sekali-kali menuntut apapun kecuali wujudnya sendiri itu pula Cinta tidak pernah menguasai dan tidak pernah dikuasai Lantaran cinta terlahir hanya demi cinta

Manakala engkau bercinta, jangan pernah engkau tuturkan, "Tuhan bersemayam di dalam lubuk hatiku". Namun ucapkanlah, "Aku tengah bersemayam di lubuk hati Tuhan". Jangan pula engkau mengira bahwa engkau mampu menciptakan jalanmu sendiri Sebab hanya dengan seijin cintalah jalanmu akan terkuak

Cinta tidak pernah mengambisikan apapun kecuali pemuasan dirinya sendiri Tetapi bila engkau mencintai dan terpaksa mesti menyimpan hasrat, maka jadikanlah hasratmu seperti ini:

Melumatkan diri dan menjelma anak-anak sungai yang gemericik mengumandangkan tembang ke ranjang malam Memahami nyerinya rasa kelembutan Berdarah oleh pandanganmu sendiri terhadap cinta Menanggung luka dengan hati yang penuh tulus nan bahagia Bahagia dikala fajar dengan hati mengepakkan sayap-sayap Dan melambaikan rasa syukur untuk limpahan hari yang berbalur cinta Merenungkan muara-muara cinta sambil beristirahat di siang hari. Dan kembali dikala senja dengan puja yang menyesaki rongga hati

Lantas,

Engkaupun berangkat ke peraduanmu dengan secarik doa Yang disulurkan kepada sang tercinta di dalam hatimu Yang diiringi seuntai irama pujian yang meriasi bibirmu...

Sumber: Kahlil Gibran on conectique.com

Belajar Menaklukkan Diri Sendiri

Dalam hidup ini, bahagia tidaknya kita, kita sendiri yang akan menentukan. Hanya karena kebodohan, kita dibayangi oleh rasa kekhawatiran dan rasa takut yang sebenarnya tidak perlu ada.

Berhati lurus adalah menjaga hati dan pikiran agar tidak mudah goyah oleh godaan. Bagi yang berkepribadian lemah dan berjiwa rapuh akan mudah tergoda pada kesenangan duniawi.

Mata kita hanya melihat benda-benda yang indah, telinga kita hanya akan mendengar suara yang merdu, dan lidah hanya mau mencicipi makanan yang lezat. Tubuh menjadi manja, dan pikiran mengembara ke mana-mana tanpa dapat dikendalikan.

Orang bijak mengatakan bahwa perang yang tidak ada habisnya adalah perang melawan diri sendiri. Musuh yang paling sulit ditaklukkan adalah diri sendiri.

Hati yang bercabang ibarat kuda yang lepas dari kendali. Karena itu kita harus menjaga keseimbangan hati dan pikiran kita. Hindari pikiran yang menyesatkan, karena nantinya akan menimbulkan malapetaka bagi diri sendiri.

Bila kita ingin menuai benih kebahagiaan, taburlah benih kebaikan. Kita mulai dengan menanam bibit-bibit kebaikan, mencabut rumput-rumput ketamakan, kebencian, iri hati, mengairinya dengan ketabahan dan kemurahan hati, serta menyuburkannya dengan memberi pupuk perilaku yang berbudi. Dengan begitu, sudah sepantasnya kita menikmati hasil panen yang memuaskan.


Sumber: conectique.com

Sabtu, 10 Januari 2009

Cinta, Kesedihan, Kekayaan, Kegembiraan, dan Waktu

Alkisah di suatu pulau kecil, tinggallah berbagai macam benda-benda abstrak. Ada Cinta, Kesedihan, Kekayaan, Kegembiraan, dan sebagainya. Mereka hidup berdampingan dengan baik.

Namun suatu ketika, datang badai menghempas pulau kecil itu dan air laut tiba-tiba naik dan akan menenggelamkan pulau itu. Semua penghuni pulau cepat-cepat berusaha menyelamatkan diri.

Cinta sangat kebingungan sebab ia tidak dapat berenang dan tak mempunyai perahu. Ia berdiri di tepi pantai mencoba mencari pertolongan. Sementara itu air makin naik membasahi kaki Cinta. Tak lama Cinta melihat Kekayaan sedang mengayuh perahu.

"Kekayaan! Kekayaan! Tolong aku!" teriak Cinta.
"Aduh! Maaf, Cinta!" kata Kekayaan, "Perahuku telah penuh dengan harta bendaku. Aku tak dapat membawamu serta, nanti perahu ini tenggelam. Lagipula tak ada tempat lagi bagimu di perahuku ini."

Lalu Kekayaan cepat-cepat mengayuh perahunya pergi. Cinta sedih sekali,
namun kemudian dilihatnya Kegembiraan lewat dengan perahunya. "Kegembiraan! Tolong aku!", teriak Cinta. Namun Kegembiraan terlalu gembira karena ia menemukan perahu sehingga ia tak mendengar teriakan Cinta.

Air makin tinggi membasahi Cinta sampai ke pinggang dan Cinta semakin panik. Tak lama lewatlah Kecantikan. "Kecantikan! Bawalah aku bersamamu!", teriak Cinta. "Wah, Cinta, kamu basah dan kotor. Aku tak bisa membawamu ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang indah ini." sahut Kecantikan.
Cinta sedih sekali mendengarnya. Ia mulai menangis terisak-isak. Saat itu lewatlah Kesedihan. "Oh, Kesedihan, bawalah aku bersamamu," kata Cinta. "Maaf, Cinta. Aku sedang sedih dan aku ingin sendirian saja ...." kata Kesedihan sambil terus mengayuh perahunya.

Cinta putus asa. Ia merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya. Pada saat kritis itulah tiba-tiba terdengar suara, "Cinta! Mari cepat naik ke perahuku!"
Cinta menoleh ke arah suara itu dan melihat seorang tua dengan perahunya. Cepat-cepat Cinta naik ke perahu itu, tepat sebelum air menenggelamkannya. Di pulau terdekat, orang tua itu menurunkan Cinta dan segera pergi lagi. Pada saat itu barulah Cinta sadar bahwa ia sama sekali tidak mengetahui siapa orang tua yang menyelamatkannya itu.

Cinta segera menanyakannya kepada seorang penduduk tua di pulau itu, siapa sebenarnya orang tua itu. "Oh, orang tua tadi? Dia adalah Waktu," kata orang itu. "Tapi, mengapa ia menyelamatkanku? Aku tak mengenalnya. Bahkan teman-teman yang mengenalku pun enggan menolongku," tanya Cinta heran. "Sebab," kata orang itu, "Hanya Waktu-lah yang tahu berapa nilai sesungguhnya dari Cinta itu….


Sumber: conectique.com

Seekor Beruang dan Ikan Kecil

Seekor beruang yang bertubuh besar sedang menunggu seharian dengan sabar di tepi sungai deras, waktu itu memang tidak sedang musim ikan. Sejak pagi ia berdiri di sana mencoba meraih ikan yang meloncat keluar air. Namun, tak satu juga ikan yg berhasil ia tangkap. Setelah berkali-kali mencoba, akhirnya..hup .. ia dapat menangkap seekor ikan kecil. Ikan yang tertangkap menjerit-jerit ketakutan, si ikan kecil itu meratap pada sang beruang,

"Wahai beruang, tolong lepaskan aku."

"Mengapa ?" tanya beruang.

"Tidakkah kau lihat, aku ini terlalu kecil, bahkan bisa lolos lewat celah-celah gigimu," rintih sang ikan.

"Lalu kenapa?" tanya beruang lagi.

"Begini saja,tolong kembalikan aku ke sungai, setelah beberapa bulan aku akan tumbuh menjadi ikan yang besar, di saat itu kau bisa menangkapku dan memakanku utk memenuhi seleramu." kata ikan.

"Wahai ikan, kau tahu kenapa aku bisa tumbuh begitu besar?" tanya beruang

"Mengapa?" ikan balas bertanya sambil menggeleng-gelengka n kepalanya.

"Karena aku tidak pernah menyerah walau sekecil apapun keberuntungan yang telah tergenggam di tangan !" jawab beruang sambil tersenyum mantap.

"Ops !" teriak sang ikan.

Dalam hidup, kita diberi banyak pilihan dan kesempatan. Namun jika kita tidak mau membuka hati dan mata kita untuk melihat dan menerima kesempatan yang Tuhan berikan maka kesempatan itu akan hilang begitu saja. Dan hal ini hanya akan menciptakan penyesalan yang tiada guna di kemudian hari, saat kita harus berucap :"Ohhhh... andaikan aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dulu ..!!!?. Maka bijaksanalah pada hidup, hargai setiap detil kesempatan dalam hidup kita.

Disaat sulit, selalu ada kesempatan untuk memperbaiki keadaan;....
Disaat sedih, selalu ada kesempatan untuk meraih kembali kebahagiaan....

Di saat jatuh selalu ada kesempatan untuk bangkit kembali; ....
Dan dalam kondisi terburukpun selalu ada kesempatan untuk meraih kembali yang terbaik untuk hidup kita....

Bila kita setia pada perkara yang kecil maka kita akan mendapat perkara yang besar. Bila kita menghargai kesempatan yang kecil, maka ia akan menjadi kesempatan yang besar.



Sumber: conectique.com

Cinta Bagai Menunggu Bis

Cinta itu sama seperti orang yang menunggu bis. Sebuah bis datang, dan kamu bilang, "Wah.. terlalu penuh, sumpek, bakalan nggak bisa duduk nyaman neh ! Aku tunggu bis berikutnya aja deh."

Kemudian, bis berikutnya datang. Kamu melihatnya dan berkata, "Aduh bisnya kurang asik nih, nggak bagus lagi.. nggak mau ah.."

Bis selanjutnya datang, cool dan kamu berminat, tapi seakan-akan dia tidak melihatmu dan lewat begitu saja.

Bis keempat berhenti di depan kamu. Bis itu kosong, cukup bagus, tapi kamu bilang, "Nggak ada AC nih, bisa kepanasan aku". Maka kamu membiarkan bis keempat itu pergi.

Waktu terus berlalu, kamu mulai sadar bahwa kamu bisa terlambat pergi ke kantor.

Ketika bis kelima datang, kamu sudah tak sabar, kamu langsung melompat masuk ke dalamnya. Setelah beberapa lama, kamu akhirnya sadar kalau kamu salah menaiki bis. Bis tersebut jurusannya bukan yang kamu tuju ! Dan kau baru sadar telah menyiakan waktumu sekian lama.

Moral dari cerita ini: sering kali seseorang menunggu orang yang benar-benar 'ideal' untuk menjadi pasangan hidupnya. Padahal tidak ada orang yang 100% memenuhi keidealan kita. Dan kamu pun sekali-kali tidak akan pernah bisa menjadi 100% sesuai keinginan dia.

Tidak ada salahnya memiliki 'persyaratan' untuk 'calon', tapi tidak ada salahnya juga memberi kesempatan kepada yang berhenti di depan kita.

Tentunya dengan jurusan yang sama seperti yang kita tuju. Apabila ternyata memang tidak cocok, apa boleh buat.. tapi kamu masih bisa berteriak 'Kiri' ! dan keluar dengan sopan.

Maka memberi kesempatan pada yang berhenti di depanmu, semuanya bergantung pada keputusanmu. Daripada kita harus jalan kaki sendiri menuju kantormu, dalam arti menjalani hidup ini tanpa kehadiran orang yang dikasihi.

Cerita ini juga berarti, kalau kebetulan kamu menemukan bis yang kosong, kamu sukai dan bisa kamu percayai, dan tentunya sejurusan dengan tujuanmu, kamu dapat berusaha sebisamu untuk menghentikan bis tersebut di depanmu, agar dia dapat memberi kesempatan kepadamu untuk masuk ke dalamnya. Karena menemukan yang seperti itu adalah suatu berkah yang sangat berharga dan sangat berarti. Bagimu sendiri, dan bagi dia.

Lalu bis seperti apa yang kamu tunggu?


Sumber: conectique.com

Pasangan dari Tuhan

Bertahun-tahun yang lalu, Aku berdoa kepada Tuhan untuk memberikan pasangan hidup, "Engkau tidak memiliki pasangan karena engkau tidak memintanya", Tuhan menjawab. Tidak hanya Aku meminta kepada Tuhan, Aku menjelaskan kriteria pasangan yang kuinginkan. Aku menginginkan pasangan yang baik hati, lembut, mudah mengampuni, hangat, jujur, penuh dengan damai dan sukacita, murah hati, penuh
pengertian, pintar, humoris, penuh perhatian. Aku bahkan memberikan kriteria pasangan tersebut secara fisik yang selama ini kuimpikan. Sejalan dengan berlalunya waktu, Aku menambahkan daftar kriteria yang kuinginkan dalam pasanganku.

Suatu malam, dalam doa, Tuhan berkata dalam hatiku," Hamba-Ku, Aku tidak dapat memberikan apa yang engkau inginkan. " Aku bertanya, "Mengapa Tuhan?" dan Ia menjawab, " Karena Aku adalah Tuhan dan Aku adalah Adil. Aku adalah Kebenaran dan segala yang Aku lakukan adalah benar." " Aku bertanya lagi, "Tuhan, aku tidak mengerti mengapa aku tidak dapat memperoleh apa yang aku pinta dari-Mu?" " Jawab Tuhan, "Aku akan menjelaskannya kepada-Mu, Adalah suatu ketidak adilan dan ketidak benaran bagi-Ku untuk memenuhi keinginanmu karena Aku tidak dapat memberikan sesuatu yang bukan seperti engkau. Tidaklah adil bagi-Ku untuk memberikan seseorang yang penuh dengan cinta dan kasih kepadamu jika terkadang engkau masih kasar, atau memberikan seseorang yang pemurah tetapi engkau masih kejam, atau seseorang yang mudah mengampuni tetapi engkau sendiri masih suka menyimpan dendam, seseorang yang sensitif, namun engkau sendiri tidak..."

Kemudian Ia berkata kepadaku, "Adalah lebih baik jika Aku memberikan kepadamu seseorang yang Aku tahu dapat menumbuhkan segala kualitas yang engkau cari selama ini daripada membuat engkau membuang waktu mencari seseorang yang sudah mempunyai semuanya itu. Pasanganmu akan berasal dari tulangmu dan dagingmu, dan engkau akan melihat dirimu sendiri di dalam dirinya dan kalian berdua akan menjadi satu.

Pernikahan adalah seperti sekolah - suatu pendidikan jangka panjang. Pernikahan adalah tempat dimana engkau dan pasanganmu akan saling menyesuaikan diri dan tidak hanya bertujuan untuk menyenangkan hati satu sama lain, tetapi untuk menjadikan kalian manusia yang lebih baik, dan membuat suatu kerjasama yang solid. Aku tidak memberikan pasangan yang sempurna karena engkau tidak sempurna. Aku memberikanmu seseorang yang dapat tumbuh bersamamu."

Kisah ini untuk yang sudah menikah, yang baru saja menikah, yang sedang mencari...



Sumber: conectique.com

Bagaimana Kita Menghadapi Cobaan

Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya. Dia bertanya mengapa hidup ini terasa begitu sukar dan menyakitkan. Dia tidak tahu bagaimana untuk menghadapinya. Dia nyaris menyerah kalah dalam kehidupan.Setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.
Ayahnya yang bekerja sebagai tukang masak membawa anaknya itu ke dapur. Dia mengisi tiga buah panci dengan air dan mendidihkannya di atas kompor. Setelah air di dalam ketiga panci tersebut mendidih, dia memasukkan lobak merah ke dalam panci pertama, telur dalam panci kedua, dan serbuk kopi dalam panci terakhir. Dia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata.
Si anak tertanya-tanya dan menunggu dengan tidak sabar sambil memikirkan apa yang sedang dilakukan oleh ayahnya. Setelah 20 menit, si ayah mematikan api. Dia menyisihkan lobak dan meletakkannya dalam mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya dalam mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk lain. Lalu dia bertanya kepada anaknya, "Apa yang kau lihat, Nak?"
"Lobak, telur dan kopi", jawab si anak. Ayahnya meminta anaknya memakan lobak itu. Dia melakukannya dan mengakui bahwa lobak itu nikmat. Ayahnya meminta dia mengambil telur itu dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, dia dapati sebiji telur rebus yang matang. Terakhir, ayahnya meminta untuk minum kopi. Dia tersenyum ketika meminum kopi dengan keharuman aroma. Setelah itu, si anak bertanya, "Apa arti semua ini,ayah?"

Si ayah, sambil tersenyum menerangkan bahawa ketiga bahan itu telah menghadapi kesulitan yang sama, direbus dalam air dengan api yang panas tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda. Lobak sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, lobak menjadi lembut dan mudah dimakan. Telur mudah pecah dengan isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras.

Serbuk kopi pula mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, serbuk kopi mengubah warna dan rasa air tersebut. "Kamu termasuk golongan yang mana? Air panas yang mendidih itu umpama kesukaran dan dugaan yang bakal kamu lalui. Ketika kesukaran dan kesulitan itu mendatangimu, bagaimana harus kau menghadapinya ?

Apakah kamu seperti lobak, telur atau kopi?" tanya ayahnya. Bagaimana dengan kita? Apakah kita adalah lobak yang kelihatan keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kita menyerah menjadi lembut dan kehilangan kekuatan. Atau, apakah kita adalah telur yang pada awalnya memiliki hati lembut, dengan jiwa yang dinamis? Namun setelah adanya kematian, patah hati, perpisahan atau apa saja cobaan dalam kehidupan akhirnya kita menjadi menjadi keras dan kaku.

Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kita menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku? Atau adakah kita serbuk kopi? Yang mampu mengubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, menjadi sarana mengubah dirinya mencapai kualitas yang lebih tinggi lagi. Jika kita seperti serbuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk atau memuncak, kita akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitar kita juga menjadi semakin baik.

Antara lobak, telur dan kopi, engkau yang mana?


Sumber: conectique.com

Hidup Itu Memilih

Jerry adalah seorang manajer restoran di Amerika. Dia selalu dalam semangat yang baik dan selalu punya hal positif untuk dikatakan. Jika seseorang bertanya kepadanya tentang apa yang sedang dia kerjakan, dia akan selalu menjawab, "Jika aku dapat yang lebih baik, aku lebih suka menjadi orang kembar!"

Banyak pelayan di restorannya keluar jika Jerry pindah kerja, sehingga
mereka dapat tetap mengikutinya dari satu restoran ke restoran yang lain.
Alasan mengapa para pelayan restoran tersebut keluar mengikuti Jerry adalah karena sikapnya.

Jerry adalah seorang motivator alami. Jika karyawannya sedang mengalami hari yang buruk, dia selalu ada di sana, memberitahu karyawan tersebut bagaimana melihat sisi positif dari situasi yang tengah dialami.

Melihat gaya tersebut benar-benar membuat aku penasaran, jadi suatu hari aku temui Jerry dan bertanya padanya, "Aku tidak mengerti! Tidak mungkin seseorang menjadi orang yang berpikiran positif sepanjang waktu. Bagaimana kamu dapat melakukannya?"

Jerry menjawab, "Tiap pagi aku bangun dan berkata pada diriku, aku punya dua pilihan hari ini. Aku dapat memilih untuk ada di dalam suasana yang baik atau memilih dalam suasana yang jelek. Aku selalu memilih dalam suasana yang baik. Tiap kali sesuatu terjadi, aku dapat memilih untuk menjadi korban atau aku belajar dari kejadian itu. Aku selalu memilih belajar dari hal itu.

Setiap ada seseorang menyampaikan keluhan, aku dapat memilih untuk menerima keluhan mereka atau aku dapat mengambil sisi positifnya. Aku selalu memilih sisi positifnya."

'Tetapi tidak selalu semudah itu," protesku. "Ya, memang begitu," kata Jerry, "Hidup adalah sebuah pilihan. Saat kamu membuang seluruh masalah, setiap keadaan adalah sebuah pilihan. Kamu memilih bagaimana bereaksi terhadap semua keadaan.

Kamu memilih bagaimana orang-orang di sekelilingmu terpengaruh oleh keadaanmu. Kamu memilih untuk ada dalam keadaan yang baik atau buruk. Itu adalah pilihanmu, bagaimana kamu hidup."

Beberapa tahun kemudian, aku dengar Jerry mengalami musibah yang tak pernah terpikirkan terjadi dalam bisnis restoran, yaitu membiarkan pintu belakang tidak terkunci pada suatu pagi dan dirampok oleh tiga orang bersenjata.

Saat mencoba membuka brankas, tangannya gemetaran karena gugup dan salah memutar nomor kombinasi. Para perampok panik dan menembaknya. Untungnya, Jerry cepat ditemukan dan segera dibawa ke rumah sakit.

Setelah menjalani operasi selama 18 jam dan seminggu perawatan intensif, Jerry dapat meninggalkan rumah sakit dengan beberapa bagian peluru masih berada di dalam tubuhnya. Aku melihat Jerry enam bulan setelah musibah tersebut. Saat aku tanya Jerry bagaimana keadaannya, dia menjawab, "Jika aku dapat yang lebih baik, aku lebih suka menjadi orang kembar. Mau melihat bekas luka-lukaku?"

Aku menunduk untuk melihat luka-lukanya, tetapi aku masih juga bertanya apa yang dia pikirkan saat terjadinya perampokan. "Hal pertama yang terlintas dalam pikiranku adalah bahwa aku harus mengunci pintu belakang," jawab Jerry.. "Kemudian setelah mereka menembak dan aku tergeletak di lantai, aku ingat bahwa aku punya dua pilihan: aku dapat memilih untuk hidup atau mati. Aku memilih untuk hidup."

"Apakah kamu tidak takut?" tanyaku. Jerry melanjutkan, "Para ahli medisnya hebat. Mereka terus berkata bahwa aku akan sembuh. Tapi saat mereka mendorongku ke ruang gawat darurat dan melihat ekspresi wajah para dokter dan suster aku jadi takut. Mata mereka berkata 'Orang ini akan mati'. Aku tahu aku harus mengambil tindakan."

"Apa yang kamu lakukan?" tanya saya.
"Di sana ada suster gemuk yang bertanya padaku," kata Jerry.
"Dia bertanya apakah aku punya alergi. 'Ya' jawabku.

Para dokter dan suster berhenti bekerja dan mereka menunggu jawabanku. Aku menarik nafas dalam-dalam dan berteriak, 'Peluru!' di tengah tertawa mereka, aku katakan, "Aku memilih untuk hidup!". Tolong aku dioperasi sebagai orang hidup, bukan orang mati'."

Jerry dapat hidup karena keahlian para dokter, tetapi juga karena sikap hidupnya yang mengagumkan. Aku belajar dari dia bahwa tiap hari kamu dapat memilih apakah kamu akan menikmati hidupmu atau membencinya.

Satu hal yang benar-benar milikmu yang tidak bisa dikontrol oleh orang lain adalah sikap hidupmu. Jika kamu bisa mengendalikannya maka hidup akan jadi lebih mudah.



Sumber: conectique.com.

1 Jam Tanpa Dosa

Seorang gadis kecil bertanya kepada ayahnya, "Ayah, bisakah seseorang melewati seumur hidupnya tanpa berbuat dosa?"
Ayahnya menjawab sambil tersenyum, "Tak mungkin Nak..."
"Bisakah seseorang hidup setahun tanpa berbuat dosa?" Tanya gadis kecil lagi.
Ayahnya menjawab, "Tak mungkin Nak…"
"Bisakah seseorang hidup sebulan tanpa berbuat dosa?" Kembali gadis kecil itu bertanya.
Lagi-lagi ayahnya menjawab "Tak mungkin, nak…"
"Bisakah seseorang hidup sehari saja tanpa berbuat dosa?" Sekali lagi gadis kecil itu bertanya.
Ayahnya mengernyitkan dahi dan berpikir keras untuk menjawab, "Mmm.... Mungkin bisa Nak..."
"Lalu.... Bisakah seseorang hidup satu jam tanpa dosa…? Tanpa berbuat jahat untuk satu jam itu..? Hanya waktu demi satu jam saja Yah…? Bisakah…?" Pertanyaan beruntun dilontarkan gadis kecil itu kepada ayahnya.
Ayahnya tertawa dan berkata, "Nah… Kalau itu pasti bisa Nak...."
Gadis kecil itu tersenyum lega dan berkata, "Kalau begitu Ayah… Aku mau memperhatikan hidupku jam demi jam, waktu demi waktu, supaya aku bisa belajar tidak berbuat dosa. Kurasa hidup jam demi jam lebih mudah dijalani, ya Yah…?"


Sumber: Unknow

Jumat, 09 Januari 2009

Love Will Keep Us A Life...?

Pernah mendengar judul dari artikel ini…? Bagi para pencinta musik Slow Rock, mungkin sudah tidak asing lagi. Ya… Love Will Keep Us A Life merupakan salah satu judul lagu yang dipopulerkan oleh Eagle. Saya dalam hal ini sengaja “mencomot” judul lagu tersebut sebagai judul arikel ini, karena ketertarikan saya atas judul tersebut.

Cinta… Mungkin jika disurvei, topik ini menduduki tempat teratas di dunia. Hampir semua tulisan membicarakan tentang Cinta. Tapi, yang menjadi pertanyaan, sebegitu menarikkah Cinta…? Seberapa pentingnya Cinta sampai-sampai “will keep us a live...?” Jika iya, Cinta yang seperti apa yang seharusnya…? Bukankah variasi tentang cerita Cinta sangatlah banyak…?

Jawabannya hanya satu. Makna Cinta adalah Cinta yang bermakna. Seperti halnya hidup yang serba memilih, Cinta pun juga demikian. Akan kita apakan hidup kita, seperti halnya akan kita apakan Cinta kita. Jika hidup sudah pasti membuat kita hidup, lain halnya dengan Cinta. Cinta belum tentu membuat kita hidup atau dengan kata lain, jika kita sudah “terlanjur” hidup, maka Cinta tersebut bisa membuat hidup kita lebih hidup atau sebaliknya, justru Cinta yang merusak hidup kita.

Ketika ungkapan “Makna Cinta adalah Cinta yang Bermakna” dilontarkan, pertanyaan selanjutnya akan muncul. Cinta yang bagaimana yang bermakna itu…? Karena jika kita hanya memandang ungkapan tersebut sebatas ungkapan saja, maka akan terkesan bahwa ungkapan tersebut hanya solusi normatif belaka.
“Aku mencintaimu bukan karena, melainkan walaupun.” Ungkapan tersebutlah yang menjawab pertanyaan atas ungkapan Makna Cinta adalah Cinta yang Bermakna” itu.
Terkadang kita terlalu menuntut banyak terhadap pasangan kita. Namun, bagaimana dengan kekurangannya…? Apakah kita mau menerimanya…? Secantik apapun Bunga Mawar, pasti memiliki duri yang tajam. Tidak ada manusia yang sempurna (No Bodies Perfect). Yang terpenting, Cinta kita terhadap seseorang jangan sampai membutakan kecintaan kita kepada Sang Pencipta. Ingat, hanya Dia yang membuat kita hidup dan hanya kepada-Nya kita nantinya akan kembali. Cintailah pasangan kita atas nama-Nya dan terimalah dia apa adanya. Insya Allah, Love Will Keep Us A Life benar-benar terwujud dan kebahagiaan senantiasa menyelimuti kita semua. Amin….

Paradigma Musik Indonesia

Kita boleh saja berbangga hati terhadap perkembangan industri musik di Indonesia. Untuk wilayah Asia Tenggara, bisa dibilang Indonesia merupakan salah satu yang terbaik. Tapi apakah hanya sampai disitu saja….?

Jawabannya tentu saja tidak. Banyak masyarakat di Indonesia yang belum sepenuhnya menyadari bahwa sebenarnya negeri ini memiliki banyak musisi berbakat, namun kurang banyak dikenal oleh khayalak ramai. Ingin bukti…? Coba bandingkan kualitas musik mayor label dengan indie label. Saya disini bukan ingin mengkotak-kotakkan kedua jalur musik tersebut. Tapi, yang menjadi catatan bagi kita semua bahwa musik adalah musik., yang mana alangkah baiknya jika kita menilai musik secara seobyektif mungkin. Siapapun musisinya, bagaimana latar belakang kehidupannya, bahkan bagaimana dia dalam menjalani kehidupannya harus kita pisahkan dengan penilaian kita terhadap karya musik musisi tersebut. Karena musisi berkarya dengan musiknya, maka kita pun sebagai masyarakat juga harus menilai musisi tersebut dari karya yang dihasilkan. Apapun jalur yang ditempuh musisi tersebut, entah itu mayor label atau indie label, yang terpenting bagaimana kualitas karya yang mereka hasilkan. Oleh karena itu, saya mengajak bagi para pencinta musik di seluruh tanah air, mari kita menilai musik dengan pemahaman yang jernih serta menjauhkan pemikiran jika musik mayor label lebih baik dari indie label. Hal tersebut sangatlah keliru. Obyektivitaslah yang berbicara, bukan atas dasar subyektifitas semata karena musik mayor label lebih populer.

Permasalahan yang lain, terkadang kita hanya terpaku dengan satu genre musik yang “itu-itu saja”. Perlu diingat bahwa salah satu musik yang berkualitas adalah musik yang mempunyai ciri khas tersendiri. Saya secara praktis menganggap bahwa jika musisi, apalagi grup band tersebut telah memasuki “dapur rekaman” , maka hal-hal yang menyangkut skill, kita anggap sudah lewat. Yang jadi masalah, bagaimana dengan skill yang telah mereka miliki, mereka dapat menghasilkan karya musik yang “mereka banget”. Hal tersebut penting karena pengetahuan masyarakat tentang musik akan lebih bertambah luas, tidak terpaku pada satu atau dua genre musik tertentu saja. Oleh karena itu, untuk memajukan musik Indonesia, diperlukan partisipasi aktif. Tidak hanya musisi itu sendiri, namun juga kita sebagai masyarakat yang menganggap bahwa musik bagi kita adalah penting.

Semoga musik Indonesia terus Berjaya. Tidak hanya di lingkup Asia Tenggara, namun juga di dunia. Amin….

Sebungkus Permen

Kuraih secarik kertas diatas meja belajarku. Perlahan kuurai lipatannya. Sesekali aku mengangguk, memastikan jadwal ujian SPMB hari pertama ini. Setelah segala sesuatunya kupersiapkan, termasuk hafalan-hafalan sekenaku mengenai mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Tanpa pikir panjang, segera aku bergegas menuju ke tempat ujian.
“FISIP UNS…. Ya,” ujarku mengingat tempat ujianku sambil mengira-ira jalan kesana.
Sepi....
Hanya beberapa orang saja yang berada disana. Segera ku parkir motorku dan berusaha mencari ruang ujianku.
“Masih jam 07.00 to? Pantesan sepi, “ batinku.
“Ini bener ruang 203 ya Mbak?” tanyaku kepada wanita yang duduk didepan sebuah ruangan.
“Iya bener Mas,” jawab wanita itu singkat.
Setelah aku memastikan ruangan tempat aku melaksankan ujian SPMB, aku rebahkan tubuhku duduk disamping wanita itu.
“Di ruang 3 juga ya Mbak ujiannya?” tanyaku memecah keseriusan yang terpancar dari wajah wanita itu.
“Iya,” jawabnya singkat seraya menutup buku yang sedari tadi dibacanya. “Mas juga ya?” balasnya bertanya kepadaku.
“Iya,” jawabku kembali dengan tersenyum simpul.
Seketika wanita itu membuka tasnya. Segenggam permen ia keluarkan.
“Mau permen Mas?” tawarnya sambil mengulurkan segenggam permen itu padaku.
“Makasih Mbak..,” jawabku seraya menggambil sebungkus permen dari genggamannya.
“Permen mints ya?” tanyaku singkat.
“Iya, Kenapa? Nggak suka ya?” tanyanya lagi dengan mengerutkan dahi..
“Nggak.... Suka kok.... Suka benget malah,” jawabku memastikannya sambil membuka permen mints dan memasukan bungkus permen itu di sakuku karena aku tidak menemukan tempat sampah di dekatku. “Oiya.... Boleh tahu nama Mbak? Kalau aku Bintang,” sapaku kembali sambil mengulurkan tangan.
“Bulan...,” jawabnya singkat seraya membalas uluran tanganku.

***

Sekitar 15 menit aku ngobrol dengan Bulan, yang ternyata satu ruangan denganku. Orangnya menarik, sopan lagi. Karena asyiknya ngobrol, tak terasa bel tanda ujian SPMB dimulai pun berbunyi. Kami pun begegas masuk ruangan bersama sekitar dua puluh peserta lain yang satu ruangan dengan aku dan Bulan. Setelah mencocokkan nomor ujian dengan meja, aku segera menempatkan diri. Ternyata aku duduk dipojok belakang. Sedangkan Bulan duduk di kursi depan pengawas.

***

Dengan penuh keseriusan para peserta ujian mengerjakan soal-soal ujian yang telah disediakan. Ada diantara mereka yang menggaruk-garuk kepala kebingungan, ada juga yang menggigit-gigit ujung pensil, bahkan ada juga yang melamun. Pokoknya gelagat para peserta ujian unik-unik banget. Kadang membuatku tertawa geli melihatnya.
Bel tanda waktu ujian berakhir berbunyi. Semua peserta ujian meninggalkan ruangan, termasuk aku dan Bulan. Di luar ruangan aku sempat ngobrol bentar sama Bulan mengenai ujian tadi. Sepertinya Bulan yakin benar dengan jawabannya. Sedangkan aku justru mengeluh kesulitan menjawab soal-soal ujian tadi.
Setelah berpamitan dengannya, aku pun bergegas pulang.

***

Seperti kemarin aku berangkat lagi untuk mengikuti ujian SPMB hari kedua. Kali ini aku terlambat. Semua peserta ujuian sudah masuk ruangan.
“Untung baru terlambat lima menit,” gumanku sambil menengok kearah jam dinding.
Sambil menanti pengawas mengambilkanku lembar jawab dan lembar soal, aku menatap dengan penuh keheranan bangku tempat ujian Bulan yang ternyata kosong.
“Bulan terlambat...?” batinku seakan tidak percaya.

***

Sampai ujian berakhir Bulan tidak kunjung datang. Sambil berjalan keluar ruangan aku memikirkan ketidakhadiran Bulan dalam ujian SPMB hari kedua ini. Untuk mengusir kepenatan setelah mengerjaan soal-soal SPMB sekaligus membuyarkan pikiranku tentang apa yang terjadi dengan Bulan, aku membeli surat kabar lokal hari ini dan segera kusimpan ke dalam tas. Aku ingin membacanya di rumah saja mengingat mendung yang telah begitu gelap.
Sesampainya di rumah aku rebahkan tubuhku di tempat tidur sambil tanganku meraih tas dan ku keluarkan surat kabar yang baru ku beli tadi. Secara berlahan kusimak baik-baik berita yang tertulis di dalamnya halaman demi halaman.
“Ya ALLAH...” sahutku terkejut seakan tidak percaya.

....Bulan P (18), peserta SPMB 2007 meninggal dunia akibat kecelakaan....

Tak kuasa aku menatap tulisan yang tertera dalam surat kabar itu. Ingatanku menerawang kejadian kemarin saat aku berkenalan dengannya. Belum terhapuskan dalam benakku senyum manisnya ketika ia menawarkan segenggam permen mints padaku.
Aku masih ingat bungkus permen mints pemberiannya yang masih ada di saku celanaku karena belum sempat aku buang kemarin. Aku raih bungkus permen mints itu dari sakuku. Aku menatap bungkus permen mints itu dalam-dalam. Kepalaku tertunduk, air mataku menetes.
“Bulan.... Aku simpan selalu bungkus permen mints darimu ini. Selamat tinggal.”

Penjilat Sejati

Cklek... klek....
Hawa kejenuhan seketika menyergapku, sesaat setelah kuputar dua kali kunci pintu kamarku. Entah sampai kapan akan terus begini, masuk ke rumah sendiri dengan berceceran perkakas mewah, seperti berada dalam ruangan asing yang berserakan sampah dengan bau busuk yang telah mengganggu pikiranku ini.
Segera kunyalakan lampu meja dan kurebahkan rasa letih yang telah dari tadi menunggangiku, di atas sebuah kursi ukiran Jepara asli yang aku sendiri tidak tahu sudah sejak kapan dia ada di kamarku ini.
Dengan susah payah, aku raih pigura ibuku yang belum genap tiga bulan menghadap kehadirat-Nya. Kulihat senyum simpulnya yang membuatku menangis, kutatap dalam-dalam sorot matanya yang memaksaku untuk terisak, dan kubelai keriput wajahnya yang membuat bulu kudukku berdiri.
Kenapa? Kenapa dengan aku? Begitu sulitnya aku menghapus kesedihan ini. Mengapa aku seperti ini? Haruskah aku memohon belas kasih air mataku sendiri untuk berhenti mengalir... ?
Penyesalan tanpa basa-basi mendekapku erat-erat. Begitu saja ia hadir menyemarakkan nuansa kesedihan yang telah terlebih dahulu hinggap di pikiranku. Kelakuanku yang hingga menjelang ajal ibuku betul-betul masih teringat jelas di benakku dan bagiku bukan pekerjaan yang mudah untuk menghapusnya.
Entah sudah berapa kali aku membentak ibuku, entah sudah berapa kali aku kabur dari rumah, entah sudah berapa kali aku merengek memaksa sesuatu yang ibuku tak kuasa meluluskannya, entah sudah berapa kali aku menyuguhkan kecemasan kepada ibuku, entah sudah berapa kali.... Entah apa yang telah aku lakukan kepada ibuku dulu.... Entah dan entah....
Muak aku mengingat diriku yang dulu!
Aku malu, malu sekali dengan dunia yang telah berkenan mengijinkan ragaku untuk singgah. Apalagi dengan ibuku, bagaimana aku harus menyembunyikan wajahku ini, bila di manapun aku berada, senyum simpul, keriput wajah, dan sorot matanya selalu membayangiku. Beginikah hidup yang harus kujalani... ?
Sesal... ya, sesallah yang kini berpihak padaku. Rasanya terlambat sudah aku membanting haluan ke jalan yang benar. Hanya doa yang bisa aku panjatkan, tanpa tahu apakah hingga detik ini ibuku benar-benar ikhlas menerima maafku atau justru mengutuk perbuatanku padanya.
***
Huh.... Kuhempaskan nafasku di tengah udara malam yang pengap. Segera kumatikan lampu meja, berbaring, dan berharap bisa tertidur. Namun seperti biasanya begitu susahnya aku memejamkan mata. Sinar gelap yang bagi kebanyakan orang sebagai penerang yang melenakan dalam tidurnya, bagiku justru terasa amat menyilaukan sehingga memaksa mataku untuk tetap terjaga.
Tok... tok... tok...
“Ira, makan dulu Nak! Ibu buatkan masakan kesukaanmu.”
Kenapa lagi nih dengan wanita penjilat itu. Berlagak manis, sok perhatian, dasar penjilat! Penjilat ya tetap saja penjilat. Bosan rasanya aku mendengar suaranya! Kenapa juga ayah mau dengannya, padahal belum genap tiga bulan kematian ibu, ayah telah berpaling begitu saja dan menyanding wanita sialan itu! Apa ayah sudah lupa dengan ibu? Apa yang telah diberikan ibu selama ini kurang? Apa tidak ingat dengan kebaikan ibu? Apa semua kebaikan ibu tidak sedikitpun mengores hati ayah? Apa sih yang sedang ayah pikirkan, hingga mau menikah dengan wanita penjilat itu?
***
“Hei, apa benar dia penjilat?”
“Sialan, siapa itu! Tentu saja dia penjilat!” sahutku dengan ketus.
“Ya kalau benar-benar penjilat, kalau bukan?”
“Buktinya sudah jelas, terang-terangan dia mau mengambil hati ayahku dengan mencoba merayuku!”
“Oya... Kamu ingin tahu sesuatu hal?”
“Sesuatu? Apa maksudmu dengan sesuatu?”
“Sesuatu yang sebenarnya. Bahwa kamulah penjilat itu, jauh lebih hina daripada wanita yang kau sebut penjilat dan benar-benar perbandingan yang tidak sepadan”
“Aku.... Aku kau sebut penjilat dan bahkan jauh lebih hina dari penjilat sekalipun!?”
“Tepat, penjilat yang menjilat ludahnya sendiri dengan lidah yang semula kau pergunakan untuk meludah. Apakah itu bukan penjilat sejati namanya?”
“Sialan! Apa buktinya kalau aku penjilat sejati?”
“Kau sudah barang tentu masih ingat belum lama kamu berkeinginan membanting haluan ke jalan yang benar? Mana buktinya! Mana! Kau sebut ibu tirimu itu penjilat, bagian mana yang penjilat? Kau buta ya! Kasih sayang, perhatian, dan luapan keikhlasan menerima kehadiranmu kau sebut penjilat? Coba kau buka matamu lebar-lebar! Ingatkah kamu ketika ibumu menjeput ajalnya? Kemanakah kamu? Ngluyur nggak karuan! Dan sekarang kamu mau mengulanginya... ? Sama saja kamu membanting haluan ke jalan yang benar menggunakan kemudi yang salah. Bukankah itu penjilat sejati namanya? Tuhan Maha Mengetahui. Dia mendengar dengan begitu jelas kebohongan tobatmu dan fitnah yang kau hujamkan kepada ayah dan ibu tirimu. Kalau wanita itu kau sebut penjilat, lalu apa lagi sebutan yang tepat untukmu? Apa lagi...! Apa lagi...!
“Cukup.... Aku mohon cukup!” Nafasku memburu bersamaan dengan siulan burung kenari yang bertengger manis diantara kerumunan dahan diiringi sinar mentari yang mulai menyibak kegelapan dengan kesilauannya.
Aku benar-benar tak kuasa menahan cercaan dari lubuk hatiku sendiri yang selama ini bungkam. Bertubi-tubi tanpa ampun dia menghantamku, menghunusku dengan pisau tajam yang kuasah sendiri. Penjilat, ya.... Akulah penjilat sejati itu. Lalu sampai kapankah predikat penjilat itu aku sandang? Akankah hatiku kembali berkenan menjawabnya? Bersediakah Tuhan menerima tobat kedua dan harapku untuk yang terakhir ini? Atau mungkin dunia sudah enggan menerimaku untuk singgah... ?
***
“Pagi Ira, gimana tidurnya, nyeyak nggak?” hardik ibu tiriku dengan suara yang membuatku mengiris.
Seketika itu juga aku dibuatnya kaget setengah mati. Jantungku serasa berhenti berdetak menyambut sapaan hangatnya. Ketakutan karena dirundung rasa bersalah telah membuat tubuhku gemetar.
Mengangguk.
Hanya itu yang bisa kulakukan, tak ada lagi. Mulutku seperti terbungkam sungkan untuk mengeluarkan kata-kata.
“Kenapa kamu? Sakit ya? Pasti gara-gara kemarin malam kamu belum makan. Ini Ibu buatkan sarapan untukmu. Dimakan ya, biar lekas sembuh.”
Mengangguk.
Sekali lagi aku melakukannya. Kali ini lidahku benar-benar kaku terganjal penyesalan yang amat sangat.
“Ya sudah, kamu makan dulu ya? Ibu mau beres-beres dulu di dapur, nanti kalau sudah selesai makan taruh saja piringnya di dapur, nanti biar Ibu yang mencucinya,” sahut ibu tiriku menanggapi anggukan kepalaku.
Bergegas ibuku bangkit meninggalkanku, sedang aku tak kuasa mencegahnya. Aku benar-benar dirundung kebimbangan, bagaimana aku harus mengutarakannya. Tapi aku tetap harus bicara dengannya, memohon ampun atas segala sikap burukku padanya. Aku harus dan harus bicara....
“Ibu... !” sahutku dengan terbata-bata mencoba bicara sambil berlari menghampirinya dan seketika itu juga aku sujud bersimpuh di kakinya. “Maafkan aku Bu...,” pintaku memelas penuh pengharapan yang amat besar agar ibu bersedia memaafkan dosa-dosa yang sebenarnya tak terampuni ini.
Aku menangis sejadinya, meratapi perbuatan hinaku. Bagiku kini, apapun hukuman yang ibu tiriku persembahkan untukku akan aku terima, asalkan dia berkenan memaafkanku.
Hening... sunyi.
Seketika ibu mengangkat wajahku, membelai rambutku, mengusap air mata yang tak terelakkan lagi mengalir deras menyusuri pipiku.
Berusaha tersenyum, itulah yang ibu lakukan sambil mengangguk sesekali terisak menahan haru. Segera ia memeluk tubuhku dengan penuh kasih sayang. Benar-benar pelukan hangat yang sama sekali belum pernah aku rasakan.
“Maafkan Ibu juga ya Ira? Jika selama ini Ibu tidak mampu menjadi Ibu yang baik, menggantikan almarhum Ibumu,” bisik ibu tiriku seraya mendekapku erat-erat.
“Tidak Bu, Ibu adalah Ibu yang baik, bahkan sangat baik. Sayalah yang bersalah, sayalah yang keterlaluan Bu, sekali lagi maafkan saya Bu,” sahutku memotong kerendahan ucapannya sambil tak henti-hentinya berjanji dalam hati akan membahagiakan ibu tiriku sebagai penebus perlakuan burukku padanya sekaligus membalas jasa besar almarhum ibuku yang selama hidupnya telah banyak aku kecewakan.
Aku tahu, aku ini penjilat sejati. Tapi aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mengakhirinya. Kini benar-benar aku akan membanting haluan ke jalan yang benar dengan kemudi yang benar pula. Semoga Tuhan senantiasa menuntun dan menjaga hatiku. Amin.

Lentera Diantara Lilin

“Huh... kenapa waktu begitu cepat berlalu...,” gumanku yang nyaris tak terdengar tersaingi desakan dedaunan yang sudah sejak tadi antri bersua.
“Tera... kamu nggak kuliah nduk? Sudah jam tujuh lebih lho...,” hardik ibuku sambil sesekali mengetuk pintu turut memeriahkan suasana yang bagiku terasa begitu hening ini.
“Iya Bu... sebentar,” sahutku singkat seraya meloncat dari tempat tidur yang telah melenakan aku dengan cengkeramannya yang begitu kuat.
Dengan setelan baju biru muda dan rok putih dipadukan dengan jilbab putih pula, aku susuri jalan yang masih terasa asing bagiku. Maklumlah, belum genap seminggu aku tinggal disini. Sepanjang jalan hanya hiruk-pikuk yang menemaniku, ditambah lagi bus yang kutumpangi tampak malas memutar rodanya. Sesekali berhenti, sesekali berhenti....
***
“Assalamu’alaikum Pak...”
“Wa’alaikumsalam, ya... silakan masuk. Lain kali jangan terlambat lagi ya?”
“Insya Allah, terima kasih Pak.”
Helaan nafas lega tersembur seketika setelah kurebahkan tubuhku di bangku paling pojok dan seperti tak terbendung lagi, puluhan pasang mata menatapku dengan pandangan penuh keasingan. Rasanya tak kuasa lagi aku menahan malu bingung menyembunyikan wajah yang mulai memerah.
“Hei, siapa namamu, boleh kenalan nggak?” tanya seseorang yang kebetulan duduk di sampingku dengan berbisik sambil menyodorkan tangannya.
“Eh... anu... nama saya Lentera Mbak. Lha Mbaknya sendiri namanya siapa?” sahutku terbata-bata sambil membalas sodoran tangannya.
“Kalau aku Lilin. Tenang aja, nggak usah grogi gitu. Eh... jangan panggil aku Mbak donk, kita kan satu angkatan. Panggil Lilin aja ya?” Balasnya sambil menunjukkan deretan giginya.
Mengangguk sambil tersenyum simpul.
***
“Lentera..!”
“Ya, ada apa Lin?” tanyaku sambil menoleh ke arahnya.
“Aku pinjem catetanmu yang tadi donk, boleh nggak?”
“Ini,” sahutku singkat sambil menyerahkan bukuku.
“Oke, makasih ya... pokoknya kamu tenang aja, nggak akan aku rusakin kok bukumu ini. Aku pinjem dulu ya?” balasnya seraya berjalan menjauh, lenyap ditelan kerumunan.
***
Lilin.
Sebuah nama sederhana yang kutaksir telah melekat pada raganya tidak kurang dari 19 tahun. Dia satu-satunya teman yang baru kukenal sejauh ini. Nuansa “gaul” yang disandang kebanyakan wanita di kampus, ada pula pada sosok Lilin. Tapi yang membuat aku heran, kenapa dia memilih aku untuk jadi temannya. Padahal aku sama sekali nggak “gaul” kayak mereka. Entah pertimbangan apa yang membuatnya mempercayaiku untuk jadi temannya....
Seiring berputarnya jarum jam, aku dan Lilin pun semakin akrab. Dia sering main ke rumahku, begitu pula sebaliknya. Setiap kali aku bertandang ke rumahnya, dia selalu menyambutku dengan gegap gempita. Banyak hal yang selalu dapat kita bicarakan. Dari urusan kuliah sampai pengalaman masa lalu pun tak luput menjadi bahan obrolan kita.
***
“Ra, nanti sore aku ke tempatmu ya? Ada yang mau aku omongin nih,” pintanya sambil berjalan beriringan denganku berhamburan ke luar kelas.
“Nanti sore ya..? Em... iya deh, kebetulan aku juga lagi nggak ada kerjaan,” jawabku singkat sambil mengerutkan dahi, mengira-ira maksudnya.
***
Tok... tok... tok....
“Eh... kamu to Lin. Kenapa nih, kok kelihatannya serius gitu?”
“Gini Ra, tapi kamu jangan ngetawain aku ya? Em... aku mau belajar ngaji nih.”
“Lho, belajar ngaji kok diketawain sih! Emang bagian mana yang lucu?”
“Ya, bukannya gitu Ra. Sudah setua ini aku kan belum bisa ngaji, padahal Adikmu yang baru sepuluh tahun itu aja udah lancar ngajinya. Mbok ya kamu ajarin aku.... Gimana, kamu mau nggak...?”
“Ya... mau sih mau, tapi aku juga nggak bisa-bisa amat. Aku ajari sebisaku ya?”
“Nah gitu donk Ra, baru asyik namanya.”
“Tapi kok tumben kamu mau belajar ngaji. Emang ada angin apa?”
“Ya... sebetulnya aku udah bosen hidup kayak gini Ra. Banyak hal yang nggak aku dapetin dari kehidupanku sekarang. Secara materiil ya, tapi secara spirituil sama sekali nggak ada dan kamu sendiri kan tau Ibuku sudah lama meninggal...,” tukasnya yang terhenti tarikan nafas panjang.
Hening... sunyi.... Tiba-tiba aroma keseriusan terpancar kuat di wajah Lilin.
“Aku ingin membalas jasa Ibuku Ra...,” lanjutnya dengan diiringi mata yang mulai berkaca-kaca. “Aku ingin membahagiakannya, aku ingin Ibuku mendengar lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an yang kuucapkan. Aku ingin... aku ingin Ibuku tahu betapa aku menyayanginya. Aku sayang Ibuku Ra... aku rindu sekali padanya... rindu sekali...,” rintihnya yang terhadang oleh air mata yang meleleh menyusuri pipinya sambil berusaha menahan isak.
“Sudahlah Lin... yang tabah ya?... Allah Maha Mendengar. Dia mendengar semua niat baikmu dan pasti Ibumu pun akan tersenyum bangga melihatmu sekarang,” hiburku sambil kupeluk tubuhnya erat-erat seraya berdoa; ‘Ya Allah tabahkanlah hati temanku ini. Bimbinglah selalu ia ke jalan yang benar’. Amin.
***
Tidak kurang dari sebulan penuh aku mengajarinya mengaji. Jelas memang bukan pekerjaan yang mudah, tapi mengingat kemauannya yang begitu keras, tak rela aku mengganjalnya dengan keluhanku. Satu hal yang membahagiakan lagi, lambat laun Lilin mulai mengubah penampilannya. Meskipun belum memakai kerudung, tapi dia telah menanggalkan pakaian minimnya dulu dan berganti dengan busana yang longgar, berusaha untuk menutup aurotnya.
Tapi, akhir-akhir ini....
***
“Yang namanya Lilin mana ya?” seru dosenku dengan pandangan yang diarahkan ke seluruh sudut kelas sambil sesekali menggelengkan kepalanya.
Seluruh penghuni kelas diam, termasuk aku.
“Kalau sekali lagi dia tidak masuk, hampir dipastikan tidak akan diijinkan mengikuti ujian dan tentu saja kemungkinan untuk lulus sangatlah kecil,” lanjutnya dengan aroma ancaman yang begitu kental.
“Lilin... kemana saja kamu,” gumanku lirih. Entah kenapa sudah hampir dua bulan ini ia tidak masuk. Aku cari di rumah, rumahnya selalu sepi, aku telpon nggak diangkat, apalagi sms, sampai pegal tanganku nggak dibalas-balas. Padahal sebentar lagi mau ujian, jangankan ngumpulin tugas, masuk aja nggak pernah. “Oiya... terakhir kali aku ketemu dia kan di rumah Neneknya. Mungkin saja dia ada di sana...,” lamunku mengingatnya.
***
Sepi. Hanya serumpun melati dan sebatang pohon nangka besar yang menghadangku setiba di rumah neneknya Lilin.
“Assalamu’alaikum...,” sapaku seraya mengetuk pintu.
”Wa’alaikumsalam...,” sahutnya pelan disertai rintihan langkah yang terseret.
“Eh... Non Tera. Mari masuk. Gimana kuliahnya?” sambutnya dengan mata terbelalak kaget disertai tingkah laku kikuk, gelisah berusaha menenangkan perasaannya dengan berusaha tersenyum.
“Alhamdulillah, baik Nek. Lha Nenek sendiri gimana? Sehat kan?”
“Alhamdulillah, berkat doa Non Tera, Nenek sehat?” sahutnya sekali lagi dengan keramahan. Namun tetap saja nuansa kegelisahan begitu kuat melekat di wajahnya yang berukiran keriput.
Sejenak kami pun diam, sesekali aku menoleh padanya sambil mengerutkan dahi mengira-ira gerangan apa yang bersemayam di balik kegelisahannya. Mungkinkah ini mengenai Lilin..?
Menarik nafas panjang.
“Nek... Lilin mana Nek?” lanjutku dengan hati-hati seraya menghela nafas.
Hening... sunyi. Tampak wajah nenek yang tidak kuasa menatapku, tertunduk dengan kedua jemari tangan terkait membentuk simpul.
“Anu Non... sebentar ya...,” sahutnya sambil tiba-tiba bangkit dari bangku dan bergegas masuk ke dalam kamar.
Perasaanku seketika menjadi tak menentu. Entah untuk apa nenek masuk ke dalam kamar? Apa yang dia sembunyikan? Sebenarnya apa yang terjadi dengan Lilin? Apa...? Apa yang terjadi...?
“Ini Non, surat yang ditulis Lilin untuk Non Tera,” hardiknya menghalau kebimbanganku sambil menyodorkan sebuah amplop kecil seraya kembali duduk.
“Apa ini Nek?” tanyaku singkat dengan rasa penasaran yang telah menggebu-gebu.
“Ya... itu Non, saya juga ndak tahu apa isinya. Pokoknya buat Non Tera. Gitu pesannya,” jawaban singkat yang membuat dahiku semakin berkerut.
Perlahan-lahan kurobek amplop itu dengan hati-hati dan kukeluarkan isinya.
Sebuah foto berukuran postcard menyembul keluar. Senyum simpul terurai dari wajah Lilin dengan balutan baju muslim bermahkotakan jilbab putih bersih. Syukur berlipat aku haturkan. Baru kali ini kulihat Lilin memakai jilbab.
“Nek, ini...,“ ucapku memecah keheningan sambil menunjukkan foto itu kepada nenek.
“Ya, itu foto Lilin dua minggu lalu,” potong nenek.
Mengangguk sambil meraih secarik kertas yang bersanding dengan foto itu. Kuurai lipatannya dengan perlahan sambil menerka apa yang tergores di dalamnya.
To:
My Little Wing,
Lentera
Assalamu’alaikum,
Ra, aku cantik nggak pakai jilbab? Awas ya kalau kamu ngetawain aku. Aku seneng Ra, akhirnya aku bisa pake’ jilbab kayak kamu, meski mungkin aku hanya bisa sebentar make’nya.
Ra, makasih banyak ya, udah jadi temenku. Tenang aja mungkin aku nggak akan pinjem catetan kamu lagi kok? Sorry banget kalau selama ini aku punya salah sama kamu, terutama waktu aku pinjem catetan kamu yang kukembaliin dalam keadaan kucel, he... he... he.... Selamanya aku nggak akan nglupain kamu, seseorang yang bernama “Lentera”.
Jaga diri baik-baik ya Ra? Tenang aja, aku disini baik-baik aja kok. Aku rindu kamu Ra....
Wassalam
Kulipat kembali secarik kertas itu dengan ratusan tanda tanya berkecamuk di kepalaku. ‘Sebenarnya apa yang terjadi?’ begitulah mereka bersahut-sahutan.
“Nek, sebenarnya apa yang terjadi dengan Lilin? Dimana dia?” tanyaku memelas membujuknya agar bersedia mengusir tanda tanya yang berkecamuk di kepalaku.
“Em... sebenarnya sudah hampir setahun ini Lilin mengidap penyakit kanker dan kini dia...”
“Dia kenapa Nek? Kenapa dengan Lilin? Bagaimana keadaannya sekarang?” sahutku bertubi-tubi menyongsong ucapan nenek yang terputus.
“Lilin telah meninggal dunia seminggu lalu,” seru nenek.
“Innalillahi wa Innaillaihi Roji’un,” ratapku menyambut jawaban nenek
Seketika hening. Aku hanya tertunduk lemas sambil memejamkan mata berusaha keras agar air mataku tidak mengalir. Perlahan-lahan kupaksa menatap foto itu lagi. Kulihat senyumnya yang semakin lama semakin menjauh. Kudekap foto itu erat-erat, sangat erat, seakan tak ingin rasanya aku melepasnya.

Jawaban Foto-Foto Usang

Aku duduk berjongkok. Melipatkan kedua kaki di samping gundukan tanah yang mulai mengering. Seraya mengaitkan kedua tangan dengan jari-jari, aku menunduk, tak kuasa menatap gundukan tanah itu. Apalagi tulisan yang terpampang jelas mengukir pada sebatang kayu yang tertancap kokoh di ujung gundukan tanah itu, benar-benar telah membuat tubuhku diam tak bergeming.
Sunyi, sepi. Bahkan bibir-bibir kenari pun terbungkam. Deru angin yang biasanya meliuk-liukkan batang-batang bambu pun kini seperti tak punya daya apa-apa lagi. Hanya sanggup mengoyangkan ujung-ujung daunnya saja.
Untuk kesekian kalinya air mataku menetes. Entah bagaimana caranya untuk membendungnya. Isakanku semakin lama semakin meracau, memecah kesunyian dengan nada-nada sumbang. Pikiranku terus saja menerawang peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum gundukan tanah itu terbentuk.
***
Merogoh saku.
Kukeluarkan tanganku bersamaan dengan beberapa kepingan uang receh.
“Huh, jalan kaki lagi nih..!” gumanku lirih sambil menyeka peluh yang mengalir dari ujung keningku.
“Kenapa Non Lintang? Kehabisan duit buat naik angkot lagi ya? Makanya ditabung donk? Jangan cuma dipake’ buat jajan aja!” sahut penjaga sekolahku dengan aroma sindiran yang amat kuat.
“Biarin! Emang sengaja kok! Lagi pengen jalan kaki aja!” balasku seketika dengan ketus seraya berjalan cepat meninggalkannya.
“Menyebalkan! Sebel, sebel, sebel..!” gerutuku tak henti-henti mengiringi perjalananku pulang. “Udah capek! Perut laper! Diejek lagi!” tandasku menumpahkan kekesalan yang memenuhi pikiranku. “Sebenarnya apa sih maunya Pak Udin sialan itu!? Tiap kali ketemu slalu aja bikin dongkol!” timpalku seketika melanjutkan cercaanku padanya. “Apa gara-gara sepeda motor bututnya yang tidak sengaja aku jatuhkan minggu lalu..?” ucapku lirih mengira-ira peristiwa yang kutaksir menjadi pemicu ketidakharmonisan hubunganku dengannya. “Ah, nggak mungkin, sebelumnya dia juga udah suka nyidir aku kalau aku dihukum berdiri di luar kelas gara-gara nggak bikin PR, ngaduin ke guru BK kalau aku kepergoknya mbolos upacara di belakang sekolah, dan yang paling menyebalkan, sok pake’ nyeramahin sgala kalau aku dateng telat, bukannya membukakan pintu gerbang dulu. Padahal bukan hanya aku aja yang nggak ngerjain PR, mbolos upacara, dan dateng telat, yang lainnya, yang lebih parah dariku banyak kok. Emang dianya aja yang sentimen denganku, ” yakinku sambil memaparkan perlakuan Pak Udin yang menurutku nggak adil itu.
Bergegas kupercepat langkahku sambil berusaha memuntahkan peristiwa menyebalkan yang telah aku telan mentah-mentah dari pikiranku.
***
“Lintang…. Daripada kamu cuma duduk bermalas-malasan di situ, mendingan kesini bantuin Ibu nak..?” pinta ibuku lantang lebih lantang dari suara TV yang sudah sejak tadi aku nyalakan.
“Iya, sebentar Bu,” sahutku pelan sambil bergegas meloncat dari sofa hitam yang telah lama melenakanku.
Kuhampiri ibuku yang ada di dalam gudang. Tampaknya ia bagitu kerepotan membersihkan gudang. Aku tau, aku memang lumayan mbandel, tapi sebisa mungkin aku berusaha untuk selalu membantu ibu, apapun yang ia minta sekuat tenaga akan aku penuhi. Benar-benar aku ingin membahagiakannya, membalas budi baiknya kepadaku, dan karena ibu hanya sendiri. Ya, hanya sendiri . Sejak aku berusia 2 tahun, aku tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah. Ia yang katanya sebagai pemimpin dalam rumah tangga, justru meninggalkan kami, aku dan ibuku. Konon, dari cerita yang aku dengar dari ibu, ayah pergi karena ia merasa tidak sanggup menghidupi kami bertiga dengan pekerjaanya sebagai kuli bangunan dan meminta ibu untuk menikah lagi dengan laki-laki lain yang sekiranya mampu menyokong hidup kami agar menjadi lebih layak. Tentu saja ibu tidak bersedia, ia lebih memilih menjanda selamanya daripada harus memilih menikah dengan laki-laki selain ayah. Cinta ibu memang begitu tulus hingga kini ia rela memilih menjadi penjahit untuk menyambung hidup kami. Aku sendiri tidak habis pikir, memiliki seorang ayah yang sekejam itu, sama sekali tidak mencerminkan laki-laki yang bertanggung jawab, dan saking bencinya aku terhadap ayah, aku meminta ibu untuk menyimpan nama dan foto-foto ayah seaman mungkin sehingga aku tidak mengetahui sampai aku benar-benar siap untuk mendengar dan menatap siapa ayah sebenarnya. Walaupun sudah ribuan kali ibu memintaku untuk memaafkan kesalahan ayah, tapi sampai detik ini pun aku masih menganggap bahwa diriku tidak mempunyai ayah atau mungkin menganggap ayah sudah lenyap tertelan bumi. Kebencianku padanya sudah tak terlukiskan lagi, karena benar-benar telah mengakar pada jiwaku, telah mendarah daging.
“Ada apa Bu?” tanyaku memenuhi panggilannya.
“Lintang, tolong kamu bersihkan album foto yang bertumpukkan di sana ya? Itu semua foto-fotomu ketika kamu masih kecil dan kebanyakan foto kamu sewaktu merayakan ulang tahunmu yang pertama,” pintanya sambil menunjuk pada tumpukan di sudut gudang.
Tersenyum simpul, pertanda mengiyakan perintah ibu. Kuraih tumpukan album foto itu. Kubuka perlahan tiap halamannya. Rangkaian foto usang terpampang rapi. Memang benar, banyak sekali wajahku di sana, ketika aku merayakan ulang tahunku yang pertama. Perangaiku yang centil menggelitik bibirku untuk sekedar tersenyum. Sesuai dengan dugaanku, tak kutemukan foto ayah dan itulah yang sebenarnya aku kehendaki. Sejak dulu ibu memang sengaja menyimpannya, mungkin karena ia tahu betapa aku sangat membenci ayah dan tak ingin memaksaku melihatnya sampai aku benar-benar telah siap.
Tepat pukul 6 petang, gudang telah bersih dan rapi. Sambil menanti malam menggenang, aku membantu ibu menjahit dan masuk ke kamar setelahnya.
Kuhempaskan nafas panjangku, kubiarkan berbaur dengan udara malam dan berharap dapat mengalir tenang dalam alunan kesunyian yang senantiasa ia suguhkan.
***
Nuansa pagi yang riuh kembali hadir. Segera aku meloncat dari tempat tidur dan seperti biasa, untuk kesekian kalinya aku terlambat berangkat ke Sekolah. Tidak tanggung-tanggung, aku perkirakan bakalan terlambat 30 menit, karena sudah jam tujuh lebih aku baru akan berangkat. Sudah terngiang di kepalaku apa yang akan terjadi. Pak Udin menghadangku di depan pintu gerbang sekolah, dan sebelum membukakan pintu, aku harus mendengar nasehat klasiknya, supaya kalau sekolah itu yang bener, jangan sampai ngecewa’in orang tua, terutama ngecewa’in ibu, soalnya ibu yang membesarkan dan mendidik kita sejak lahir.
Tapi kali ini….
***
Gerbang sekolah terbuka. Pak Udin yang biasanya sudah bersiap-siap menghardikku, kini tak kutemui. Bahkan pemandangan yang tidak biasalah yang justru kini menghadangku. Banyak murid yang bertebaran tidak karuan di halaman sekolah dan tak satupun guru yang tampak. Segera aku masuk kelas.
“Tumben banyak kelas yang kosong. Emang ada apaan sih Des? Guru-guru pada rapat ya?” tanyaku kepada Desy, yang kebetulan duduk sebangku denganku seraya meletakkan tas di atas meja sambil merebahkan rasa letih di atas sebuah kursi.
“Nggak, itu para guru dan murid-murid rencananya mau pergi melayat,” jawabnya singkat seadanya sambil sibuk memencet-mencet hp barunya.
“Oya, emang siapa yang meninggal? Kok semuanya pada mau layat?” sambutku kembali sambil mengerutkan dahi penuh keheranan.
“Itu, penjaga sekolah kita, Pak Udin.”
“Apa..!? Yang bener? Emang kenapa kok bisa sampai meninggal? Perasaan Pak Udin nggak pernah sakit-sakitan? Bahkan kemarin aku masih ketemu dengan dia, kelihatannya dia baik-baik aja tuh?” lanjutku lagi masih dengan aroma keheranan.
“Itu dia yang bikin heboh. Pak Udin meninggal bukan karena sakit, tapi karena bunuh diri.”
“Bunuh diri..!? Kok bisa? Emang apa penyebabnya sampai ia bunuh diri sgala?” ucapku yang kini aroma keheranan justru semakin tercium kuat.
“Ya… mana aku tau? Emang aku Ibunya?” jawabnya landai.
Kutarik nafas panjang dan dengan segera kuhembuskan perlahan. Entah bagaimana aku harus menyikapi peristiwa ini? Sedihkah? Karena satu-satunya penjaga di sekolahku meninggal dengan cara yang tragis. Atau justru gembira? Karena aku telah terbebas dari sindirannya yang memuakkan dan celotehnya yang sok bijaksana itu?
***
Berbondong-bondong para guru dan murid pergi melayat, termasuk aku.
Hanya halaman rumah yang tidak terlampau luas yang menyambut kedatangan kami. Nuansa kesederhanaan seketika menyelimuti rumah Pak Udin, maklumlah yang aku denger Pak Udin hanya tinggal seorang diri dan pengahasilannya pun juga tidak seberapa.
Satu per satu kami masuk ke rumah Pak Udin untuk sekedar mengucapkan rasa bela sungkawa dan kebetulan aku kebagian yang terakhir. Sambil menanti yang lainnya bergantian masuk, aku memandangi sekeliling rumah Pak Udin, mencoba mencari-cari penyebab bunuh dirinya Pak Udin. Dan kini….
Aku telah tiba di depan daun pintu rumahnya.
Seketika tubuhku tak kuasa bergerak, bahkan darahku pun seolah-seolah berhenti mengalir, udara pun sepertinya sukar untuk aku hirup. Foto-foto usang yang menampakkan wajah centilku saat aku merayakan ulang tahunku yang pertama, yang baru kemarin aku merapikannya, kini terpigura rapi menghiasi dinding rumah Pak Udin. Jawaban foto-foto usang itu kini telah benar-benar menyentak hatiku.
***
Aku berdiri, berusaha meluruskan kaki yang telah letih terlipat. Kini telah genap tujuh hari aku dirundung perasaan aneh. Kutaburkan bunga di sekujur gundukan tanah itu dan kutatap dalam-dalam nama yang terukir jelas di atas sebatang kayu yang tertancap kokoh di ujung gundukan. Ya, itu ayahku. Amirudin.

Gerbong Terakhir

Tut... tut... tut....
Raungan cerobong kereta tua disertai kepulan asap hitam membumbung tinggi seolah-olah menyertai keheninganku di tengah-tengah keramaian yang membalut perjalanan, yang memayungi kepenatan, yang mengusir kesunyian, dan yang pasti akan menuntunku ke sebuah tempat dimana kenangan banyak bersemayam disana.
Kota tua, kumuh, padat dengan berjubel ratusan orang yang berebut tempat untuk sekedar bersandar mencari seberkas sinar diantara gemerlap cahaya yang menyilaukan bahkan tidak segan-segan membutakan mata segelintir nyawa yang hatinya selalu dihinggapi kelalaian akan cahaya yang sesungguhnya.
Seperti telah sampai di ujung, keturutsertaanku untuk menjadi bagian dari mereka kini berakhir sudah. Setumpuk beban yang senantiasa bercokol di pundakku kini telah aku rebahkan. Harapan besar yang empat tahun silam begitu aku dambakan, kini segalanya telah aku raih dengan hitam di atas putih yang baru saja kuterima belum genap sebulan lamanya. Ribuan orang yang mengharapkan embel-embel gelar di belakang namanya, kini telah aku luluskan dan seperti muncul ke permukaan, aku hadir diantara mereka, turut serta meramaikan bursa lowongan kerja yang sudah barang tentu menjadi momok yang tak pernah lalai mengikuti dan memberatkan langkahku yang telah terseret-seret ini. Entah kenapa aku belum pernah merasa sekhawatir ini, bagiku keluar dari bangku kuliah seperti masuk dan duduk di bangku yang penuh dengan segudang masalah.
***
Dengan jaket lusuh yang selalu mengiringi kepergianku dan tas kumal yang senantiasa menyimpan segala keluh kesahku, kuyakinkan bahwa hari ini adalah hari di mana untuk kali terakhirnya aku berada di kota ini. Kota yang keindahannya telah usang terkikis deru derap langkah jaman yang hadir bertubi-tubi tanpa kendali.
Kutenteng ribuan kata sebagai oleh-oleh buat segenap kerinduan yang telah siap meluap menyerbuku. Menjelang fajar yang hadir menyibak sinar kegelapan, aku bangkit. Entah mengapa langkah kakiku terasa amat ringan seolah-olah aku berjalan tanpa menyentuh tanah sedikitpun. Di depanku telah terpampang rangkaian gerbong kereta yang tampak jelas catnya mengelupas di sana-sini menghiasi sekujur tubuhnya yang selalu mengiba belas kasih dari kehadiran manusia yang silih berganti hinggap memenuhi seisi perutnya.
Pengap, sesak, kusut campur aduk mewarnai rangkaian gerbong yang telah nyaris lenyap termakan usia. Segera kududuk di dekat jendela, kurebahkan kecemasan, kusingsingkan segala kerinduan yang telah lama turut serta bersamaku. Genap enam gerbong terjalin erat bergerak beriringan dan sebagai pamungkas, gerbong yang kutumpangi mengekor menutup jalinan dengan kebisingan yang amat sangat. Jutaan kata dari keasingan telah menyumpal telingaku, menulikan kepekaan yang selama ini selalu aku usung sebagai senjata ampuh untuk peduli terhadap sesama.
Namun tiba-tiba saja pandanganku terlontar mengarah kepada salah seorang yang turut singgah pula di kereta ini. Tampak seorang tua dengan pakaian yang tanpa kuduga justru lebih lusuh dari yang kukenakan. Wajahnya yang teduh penuh kesejukan telah memayungiku keluar dari nuansa kecemasan yang sejak tadi telah menghisap sari-sari ketenangan. Tanpa pikir panjang aku bangkit dari cengkeraman bangku yang telah lama mengikatku. Kupersilakan nenek tua itu menggantikan posisiku. Dengan senyum simpul dan sebuah kata singkat yang selama ini selalu aku agungkan -terima kasih- mencuat dari bibir tipisnya. Kemudian dia beralih merebahkan keletihan yang terpancar kuat dari sekujur tubuhnya. Kutatap wajah kesederhanaannya yang kaya akan aroma sahaja yang begitu akrab bersanding dengannya. Sepertinya terbentang jarak yang sebenarnya tidak terlampau jauh bahkan terkesan begitu dekat antara diriku dengan dirinya, meskipun wajah asingnya bagiku tetap menjadi jurang dalam yang membelenggu keakraban sesaat yang menyimpan banyak tanda tanya.
***
Tiga jam berdiri, telah menghunusku dengan kecapaian yang menusuk-nusuk tulang kakiku. Segera aku susuri gerbong demi gerbong mencari celah untuk sekedar menambatkan rasa letih yang telah lama tertanam memenuhi raga ini. Alunan musik gaduh kereta terus saja menderu. Iramanya yang aneh, kini senantiasa menghiasi suasana bising yang telah lama mendahuluinya.
Dari kejauhan muncul kondektur paruh baya yang telah begitu fasih melubangi karcis dari gengaman penumpang. Sesekali dia melirik tajam tingkah laku para penumpang yang kadang mengusik matanya yang kutaksir telah menatap dunia ini tidak kurang dari setengah abad lamanya. Entah kenapa ia begitu menikmati pekerjaannya itu, padahal berada di kereta ini untuk sejenak saja telah membuatku tersiksa, sedangkan baginya kereta ini tidak lain adalah tempatnya untuk menambatkan hidupnya. Aneh.... Sungguhkah ia menikmati pekerjaanya itu? Atau dia telah menyerah kepada keadaan...?
***
Tanpa aba-aba, rangkaian gerbong yang telah lama menerobos kesunyian dengan kegaduhan kini semakin lama semakin larut dalam keheningan dan berhenti di tengah padang hijau yang bagai permadani menyelimuti permukaan dunia.
Banyak diantara penumpang yang terlontar dari mulut mereka keluhan-keluhan memuakkan menyibak hawa panas yang menyengat membalut seisi gerbong.
“Ada apa sih Pak, kok tiba-tiba keretanya berhenti?” tanya salah seorang penumpang dengan aroma ketus yang begitu kental.
“Kapan sampainya kalau berhenti begini!” timpal mereka yang lain.
“Buruan dong Pak, keburu gerah nih!” desak mereka dengan pertanyaan bertubi-tubi menghujani kondektur yang wajah keriputnya perlahan-lahan terlihat mulai memucat.
Segera ia susuri gerbong, mencari sebab-musabab yang menghentikan laju kereta sambil berteriak-teriak memanggil rekannya yang lain. Tak sampai lima belas menit ia kembali hadir di tengah-tengah penumpang dengan peluh bercucuran mengairi wajahnya.
“Maaf, kebetulan di gerbong belakang ada salah satu penumpang yang meninggal mendadak, jadi terpaksa kereta harus berhenti untuk membawanya segera ke Rumah Sakit”
“Innalillahi wa Innaillaihi Roji’un,” sahutku pelan menanggapi perkataan kondektur itu.
Apakah ini sebuah resiko yang harus ditanggung penumpang...? Kematian yang tidak terduga akan selalu membayangi mereka dan tidak segan-segan untuk menerkamnya suatu saat. Ketidaknyamanan dan ketidakamanan menjadi pengikut setia bagi mereka yang memilih memanfaatkan fasilitas dengan uang tidak seberapa. Tapi bukankah sangat tidak adil jika nyawa harus dihargai dengan harta...?
***
Tepat pukul tiga sore aku turun dari kereta dengan kenangan kematian seorang penumpang masih saja terngiang di pikiranku. Segera kuhapus hal menyeramkan itu dari pikiranku. Bagiku, mengingatnya seperti kembali makan duri tajam yang sewaktu waktu menggores dan meninggalkan luka yang begitu dalam.
Bergegas kusuri jalan yang empat tahun silam terasa begitu akrab, namun kini sangat angkuh menyapa kedatanganku. Tanpa basa-basi aku menghampiri sebuah bus kota yang harapanku akan mengantar diriku kembali ke suatu tempat indah yang begitu kudambakan dan tentu saja inginku iringan kejadian naas di kereta tadi tidak ikut bersamaku di bus kota ini.
Segera kusibak jendela bus lebar-lebar, mencoba mencari kenangan yang mungkin saja masih terselip diantara gerombolan pepohonan dan hembusan angin pedesaan.
Keasriannya tidak lekang oleh hempasan modernisasi, itulah yang sekarang ini aku rasakan dan semoga saja harapanku ini akan senantisa terkabul.
Tampak hadir dari kejauhan sebuah desa kecil menghadangku, memelukku dengan penuh kehangatan. Melalui hembusan angin, suara gesekan dedaunan, dan kicauan burungnya yang telah menjabat tanganku dengan ramah. Nuansa kepenatan yang senantisa menggandeng langkahku tak kutemukan disini. Begitu indah, begitu damai, begitu tenteram. Itulah yang selalu kurasakan ketika kembali berada di kampung halaman.
Tak terasa tibalah aku di halaman rumah sederhana yang selalu kuimpikan penantiannya. Rumah yang memberiku keindahan kehidupan melalui kesahajaan yang senantiasa terpancar di dalamnya.
Namun pemandangan tak biasa telah menyergapku. Sekawanan orang berkerumun di rumahku. Tampak raut wajah mereka yang muram, pucat, dan bahkan beberapa diantaranya tampak terisak menahan air mata. Segera kupercepat langkahku menghampiri mereka.
Dengan berusaha keras untuk menunjukkan deretan giginya mereka menyambutku. Kuhampiri segera pamanku yang kebetulan ada tidak jauh dari tempatku berdiri.
“Ada apa Paman, ada apa ini?” tanyaku tanpa pikir panjang karena rasa penasaran yang telah menggebu-gebu menerpaku.
“Kamu masih ingat dengan Mbok Iyem? Pengasuhmu dulu sampai kau berumur lima tahun?” balas pamanku justru dengan pertanyaan yang sedikit banyak membuat dahiku berkerut.
“O... iya, kenapa dengan Mbok Iyem Paman?” kembali aku balas pertanyaan paman dengan pertanyaan pula walaupun pada dasarnya aku sendiripun masih ragu-ragu mengutarakannya.
“Baru saja Mbok Iyem meninggal dunia karena serangan jantung sewaktu dia mau kembali dari luar kota,” jawab pamanku dengan tertunduk lemas sambil menghela nafas panjang berusaha menabahkan hatinya yang dihimpit kesedihan yang mendalam.
“Innalillahi wa Innaillaihi Roji’un,” desahku mengiringi jawaban paman.
Samar-samar aku menerawang berusaha mengingat sosok mbok Iyem yang dulu mengasuhku dengan segenap jiwanya, berusaha membesarkan ragaku tanpa pamrih sedikitpun. Beliau pulalah yang selalu memupuk hatiku dengan keimanan yang tiada ternilai harganya. Sungguh kasih sayang yang tiada terkira hingga bingung bagaimana aku harus membalasnya dan kini justru ajalnyalah yang menyambutku.
Segera dengan tergopoh-gopoh aku masuk ke dalam untuk sekedar menatap wajahnya untuk kali terakhir. Entah seperti apa wajahnya kini, seonggok kegiatan dunia telah membuyarkan ingatanku tentang kesederhanaannya yang bagiku justru merupakan hal termewah yang pernah aku alami. Kini hanya doa yang bisa aku usung untuknya selain ucapan terima kasih yang tak henti-hentinya mengalir dari mulutku ini.
“Ya Allah...,” ratapku ketika kusibak tirai penutup wajahnya yang putih bersih. Tak kusangka nuansa kesejukan yang memayungiku ketika berada di dalam kereta dengan disertai senyum simpul itu ternyata ada pada sosok mbok Iyem yang kini terbujur kaku tepat dihadapanku. Nenek tua yang menggantikan posisiku untuk sekedar merebahkan keletihannya di gerbong terakhir kini benar-benar membuatku letih karena kepergiannya. Yang kutakutkan ternyata kini harus aku alami. Untuk kesekian kalinya terpaksa aku harus berkenan menelan duri tajam yang siap melukai hatiku. Hanya ketabahan yang bisa menjadi penawarnya. Perjumpaan yang begitu singkat telah mengantarkanku pada perpisahan yang panjang. Aroma kebisingan yang tertuang dalam gerbong terakhir menjadi saksi bisu yang menuntunnya ke jalan yang tiada mengenal ujung. Langkah kaki yang memaksaku singgah di gerbong terakhir jelas senantiasa melekat dalam pikiranku dan tak pernah akan terkelupas sedikitpun.
Gerbong terakhir... ya... di gerbong terakhir itu benar-benar nyata terakhir kalinya aku bertemu sesosok manusia yang begitu berjasa dalam hidupku. Gerbong terakhir.... ya.... di gerbong terakhir itu yang menyimpan peristiwa memilukan. Peristiwa yang sama sekali belum pernah terbayang olehku.
Selamat jalan mbok Iyem, semoga surga terindah akan menjadi tempat bersemyamnya dirimu. Berbahagialah atas budi baik yang telah engkau semaikan.
“Terima kasih dan sekali lagi terima kasih,” gerutuku berkali-kali seraya kembali menutup kain putih yang menghiasi wajah heningnya dengan diiringi derai air mata yang tak terelakkan lagi mengalir deras.
Gerbong terakhir.... ya... di gerbong terakhir itu yang benar-benar menjadi akhir....