Jumat, 09 Januari 2009

Jawaban Foto-Foto Usang

Aku duduk berjongkok. Melipatkan kedua kaki di samping gundukan tanah yang mulai mengering. Seraya mengaitkan kedua tangan dengan jari-jari, aku menunduk, tak kuasa menatap gundukan tanah itu. Apalagi tulisan yang terpampang jelas mengukir pada sebatang kayu yang tertancap kokoh di ujung gundukan tanah itu, benar-benar telah membuat tubuhku diam tak bergeming.
Sunyi, sepi. Bahkan bibir-bibir kenari pun terbungkam. Deru angin yang biasanya meliuk-liukkan batang-batang bambu pun kini seperti tak punya daya apa-apa lagi. Hanya sanggup mengoyangkan ujung-ujung daunnya saja.
Untuk kesekian kalinya air mataku menetes. Entah bagaimana caranya untuk membendungnya. Isakanku semakin lama semakin meracau, memecah kesunyian dengan nada-nada sumbang. Pikiranku terus saja menerawang peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum gundukan tanah itu terbentuk.
***
Merogoh saku.
Kukeluarkan tanganku bersamaan dengan beberapa kepingan uang receh.
“Huh, jalan kaki lagi nih..!” gumanku lirih sambil menyeka peluh yang mengalir dari ujung keningku.
“Kenapa Non Lintang? Kehabisan duit buat naik angkot lagi ya? Makanya ditabung donk? Jangan cuma dipake’ buat jajan aja!” sahut penjaga sekolahku dengan aroma sindiran yang amat kuat.
“Biarin! Emang sengaja kok! Lagi pengen jalan kaki aja!” balasku seketika dengan ketus seraya berjalan cepat meninggalkannya.
“Menyebalkan! Sebel, sebel, sebel..!” gerutuku tak henti-henti mengiringi perjalananku pulang. “Udah capek! Perut laper! Diejek lagi!” tandasku menumpahkan kekesalan yang memenuhi pikiranku. “Sebenarnya apa sih maunya Pak Udin sialan itu!? Tiap kali ketemu slalu aja bikin dongkol!” timpalku seketika melanjutkan cercaanku padanya. “Apa gara-gara sepeda motor bututnya yang tidak sengaja aku jatuhkan minggu lalu..?” ucapku lirih mengira-ira peristiwa yang kutaksir menjadi pemicu ketidakharmonisan hubunganku dengannya. “Ah, nggak mungkin, sebelumnya dia juga udah suka nyidir aku kalau aku dihukum berdiri di luar kelas gara-gara nggak bikin PR, ngaduin ke guru BK kalau aku kepergoknya mbolos upacara di belakang sekolah, dan yang paling menyebalkan, sok pake’ nyeramahin sgala kalau aku dateng telat, bukannya membukakan pintu gerbang dulu. Padahal bukan hanya aku aja yang nggak ngerjain PR, mbolos upacara, dan dateng telat, yang lainnya, yang lebih parah dariku banyak kok. Emang dianya aja yang sentimen denganku, ” yakinku sambil memaparkan perlakuan Pak Udin yang menurutku nggak adil itu.
Bergegas kupercepat langkahku sambil berusaha memuntahkan peristiwa menyebalkan yang telah aku telan mentah-mentah dari pikiranku.
***
“Lintang…. Daripada kamu cuma duduk bermalas-malasan di situ, mendingan kesini bantuin Ibu nak..?” pinta ibuku lantang lebih lantang dari suara TV yang sudah sejak tadi aku nyalakan.
“Iya, sebentar Bu,” sahutku pelan sambil bergegas meloncat dari sofa hitam yang telah lama melenakanku.
Kuhampiri ibuku yang ada di dalam gudang. Tampaknya ia bagitu kerepotan membersihkan gudang. Aku tau, aku memang lumayan mbandel, tapi sebisa mungkin aku berusaha untuk selalu membantu ibu, apapun yang ia minta sekuat tenaga akan aku penuhi. Benar-benar aku ingin membahagiakannya, membalas budi baiknya kepadaku, dan karena ibu hanya sendiri. Ya, hanya sendiri . Sejak aku berusia 2 tahun, aku tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah. Ia yang katanya sebagai pemimpin dalam rumah tangga, justru meninggalkan kami, aku dan ibuku. Konon, dari cerita yang aku dengar dari ibu, ayah pergi karena ia merasa tidak sanggup menghidupi kami bertiga dengan pekerjaanya sebagai kuli bangunan dan meminta ibu untuk menikah lagi dengan laki-laki lain yang sekiranya mampu menyokong hidup kami agar menjadi lebih layak. Tentu saja ibu tidak bersedia, ia lebih memilih menjanda selamanya daripada harus memilih menikah dengan laki-laki selain ayah. Cinta ibu memang begitu tulus hingga kini ia rela memilih menjadi penjahit untuk menyambung hidup kami. Aku sendiri tidak habis pikir, memiliki seorang ayah yang sekejam itu, sama sekali tidak mencerminkan laki-laki yang bertanggung jawab, dan saking bencinya aku terhadap ayah, aku meminta ibu untuk menyimpan nama dan foto-foto ayah seaman mungkin sehingga aku tidak mengetahui sampai aku benar-benar siap untuk mendengar dan menatap siapa ayah sebenarnya. Walaupun sudah ribuan kali ibu memintaku untuk memaafkan kesalahan ayah, tapi sampai detik ini pun aku masih menganggap bahwa diriku tidak mempunyai ayah atau mungkin menganggap ayah sudah lenyap tertelan bumi. Kebencianku padanya sudah tak terlukiskan lagi, karena benar-benar telah mengakar pada jiwaku, telah mendarah daging.
“Ada apa Bu?” tanyaku memenuhi panggilannya.
“Lintang, tolong kamu bersihkan album foto yang bertumpukkan di sana ya? Itu semua foto-fotomu ketika kamu masih kecil dan kebanyakan foto kamu sewaktu merayakan ulang tahunmu yang pertama,” pintanya sambil menunjuk pada tumpukan di sudut gudang.
Tersenyum simpul, pertanda mengiyakan perintah ibu. Kuraih tumpukan album foto itu. Kubuka perlahan tiap halamannya. Rangkaian foto usang terpampang rapi. Memang benar, banyak sekali wajahku di sana, ketika aku merayakan ulang tahunku yang pertama. Perangaiku yang centil menggelitik bibirku untuk sekedar tersenyum. Sesuai dengan dugaanku, tak kutemukan foto ayah dan itulah yang sebenarnya aku kehendaki. Sejak dulu ibu memang sengaja menyimpannya, mungkin karena ia tahu betapa aku sangat membenci ayah dan tak ingin memaksaku melihatnya sampai aku benar-benar telah siap.
Tepat pukul 6 petang, gudang telah bersih dan rapi. Sambil menanti malam menggenang, aku membantu ibu menjahit dan masuk ke kamar setelahnya.
Kuhempaskan nafas panjangku, kubiarkan berbaur dengan udara malam dan berharap dapat mengalir tenang dalam alunan kesunyian yang senantiasa ia suguhkan.
***
Nuansa pagi yang riuh kembali hadir. Segera aku meloncat dari tempat tidur dan seperti biasa, untuk kesekian kalinya aku terlambat berangkat ke Sekolah. Tidak tanggung-tanggung, aku perkirakan bakalan terlambat 30 menit, karena sudah jam tujuh lebih aku baru akan berangkat. Sudah terngiang di kepalaku apa yang akan terjadi. Pak Udin menghadangku di depan pintu gerbang sekolah, dan sebelum membukakan pintu, aku harus mendengar nasehat klasiknya, supaya kalau sekolah itu yang bener, jangan sampai ngecewa’in orang tua, terutama ngecewa’in ibu, soalnya ibu yang membesarkan dan mendidik kita sejak lahir.
Tapi kali ini….
***
Gerbang sekolah terbuka. Pak Udin yang biasanya sudah bersiap-siap menghardikku, kini tak kutemui. Bahkan pemandangan yang tidak biasalah yang justru kini menghadangku. Banyak murid yang bertebaran tidak karuan di halaman sekolah dan tak satupun guru yang tampak. Segera aku masuk kelas.
“Tumben banyak kelas yang kosong. Emang ada apaan sih Des? Guru-guru pada rapat ya?” tanyaku kepada Desy, yang kebetulan duduk sebangku denganku seraya meletakkan tas di atas meja sambil merebahkan rasa letih di atas sebuah kursi.
“Nggak, itu para guru dan murid-murid rencananya mau pergi melayat,” jawabnya singkat seadanya sambil sibuk memencet-mencet hp barunya.
“Oya, emang siapa yang meninggal? Kok semuanya pada mau layat?” sambutku kembali sambil mengerutkan dahi penuh keheranan.
“Itu, penjaga sekolah kita, Pak Udin.”
“Apa..!? Yang bener? Emang kenapa kok bisa sampai meninggal? Perasaan Pak Udin nggak pernah sakit-sakitan? Bahkan kemarin aku masih ketemu dengan dia, kelihatannya dia baik-baik aja tuh?” lanjutku lagi masih dengan aroma keheranan.
“Itu dia yang bikin heboh. Pak Udin meninggal bukan karena sakit, tapi karena bunuh diri.”
“Bunuh diri..!? Kok bisa? Emang apa penyebabnya sampai ia bunuh diri sgala?” ucapku yang kini aroma keheranan justru semakin tercium kuat.
“Ya… mana aku tau? Emang aku Ibunya?” jawabnya landai.
Kutarik nafas panjang dan dengan segera kuhembuskan perlahan. Entah bagaimana aku harus menyikapi peristiwa ini? Sedihkah? Karena satu-satunya penjaga di sekolahku meninggal dengan cara yang tragis. Atau justru gembira? Karena aku telah terbebas dari sindirannya yang memuakkan dan celotehnya yang sok bijaksana itu?
***
Berbondong-bondong para guru dan murid pergi melayat, termasuk aku.
Hanya halaman rumah yang tidak terlampau luas yang menyambut kedatangan kami. Nuansa kesederhanaan seketika menyelimuti rumah Pak Udin, maklumlah yang aku denger Pak Udin hanya tinggal seorang diri dan pengahasilannya pun juga tidak seberapa.
Satu per satu kami masuk ke rumah Pak Udin untuk sekedar mengucapkan rasa bela sungkawa dan kebetulan aku kebagian yang terakhir. Sambil menanti yang lainnya bergantian masuk, aku memandangi sekeliling rumah Pak Udin, mencoba mencari-cari penyebab bunuh dirinya Pak Udin. Dan kini….
Aku telah tiba di depan daun pintu rumahnya.
Seketika tubuhku tak kuasa bergerak, bahkan darahku pun seolah-seolah berhenti mengalir, udara pun sepertinya sukar untuk aku hirup. Foto-foto usang yang menampakkan wajah centilku saat aku merayakan ulang tahunku yang pertama, yang baru kemarin aku merapikannya, kini terpigura rapi menghiasi dinding rumah Pak Udin. Jawaban foto-foto usang itu kini telah benar-benar menyentak hatiku.
***
Aku berdiri, berusaha meluruskan kaki yang telah letih terlipat. Kini telah genap tujuh hari aku dirundung perasaan aneh. Kutaburkan bunga di sekujur gundukan tanah itu dan kutatap dalam-dalam nama yang terukir jelas di atas sebatang kayu yang tertancap kokoh di ujung gundukan. Ya, itu ayahku. Amirudin.

0 komentar:

Posting Komentar