Jumat, 09 Januari 2009

Lentera Diantara Lilin

“Huh... kenapa waktu begitu cepat berlalu...,” gumanku yang nyaris tak terdengar tersaingi desakan dedaunan yang sudah sejak tadi antri bersua.
“Tera... kamu nggak kuliah nduk? Sudah jam tujuh lebih lho...,” hardik ibuku sambil sesekali mengetuk pintu turut memeriahkan suasana yang bagiku terasa begitu hening ini.
“Iya Bu... sebentar,” sahutku singkat seraya meloncat dari tempat tidur yang telah melenakan aku dengan cengkeramannya yang begitu kuat.
Dengan setelan baju biru muda dan rok putih dipadukan dengan jilbab putih pula, aku susuri jalan yang masih terasa asing bagiku. Maklumlah, belum genap seminggu aku tinggal disini. Sepanjang jalan hanya hiruk-pikuk yang menemaniku, ditambah lagi bus yang kutumpangi tampak malas memutar rodanya. Sesekali berhenti, sesekali berhenti....
***
“Assalamu’alaikum Pak...”
“Wa’alaikumsalam, ya... silakan masuk. Lain kali jangan terlambat lagi ya?”
“Insya Allah, terima kasih Pak.”
Helaan nafas lega tersembur seketika setelah kurebahkan tubuhku di bangku paling pojok dan seperti tak terbendung lagi, puluhan pasang mata menatapku dengan pandangan penuh keasingan. Rasanya tak kuasa lagi aku menahan malu bingung menyembunyikan wajah yang mulai memerah.
“Hei, siapa namamu, boleh kenalan nggak?” tanya seseorang yang kebetulan duduk di sampingku dengan berbisik sambil menyodorkan tangannya.
“Eh... anu... nama saya Lentera Mbak. Lha Mbaknya sendiri namanya siapa?” sahutku terbata-bata sambil membalas sodoran tangannya.
“Kalau aku Lilin. Tenang aja, nggak usah grogi gitu. Eh... jangan panggil aku Mbak donk, kita kan satu angkatan. Panggil Lilin aja ya?” Balasnya sambil menunjukkan deretan giginya.
Mengangguk sambil tersenyum simpul.
***
“Lentera..!”
“Ya, ada apa Lin?” tanyaku sambil menoleh ke arahnya.
“Aku pinjem catetanmu yang tadi donk, boleh nggak?”
“Ini,” sahutku singkat sambil menyerahkan bukuku.
“Oke, makasih ya... pokoknya kamu tenang aja, nggak akan aku rusakin kok bukumu ini. Aku pinjem dulu ya?” balasnya seraya berjalan menjauh, lenyap ditelan kerumunan.
***
Lilin.
Sebuah nama sederhana yang kutaksir telah melekat pada raganya tidak kurang dari 19 tahun. Dia satu-satunya teman yang baru kukenal sejauh ini. Nuansa “gaul” yang disandang kebanyakan wanita di kampus, ada pula pada sosok Lilin. Tapi yang membuat aku heran, kenapa dia memilih aku untuk jadi temannya. Padahal aku sama sekali nggak “gaul” kayak mereka. Entah pertimbangan apa yang membuatnya mempercayaiku untuk jadi temannya....
Seiring berputarnya jarum jam, aku dan Lilin pun semakin akrab. Dia sering main ke rumahku, begitu pula sebaliknya. Setiap kali aku bertandang ke rumahnya, dia selalu menyambutku dengan gegap gempita. Banyak hal yang selalu dapat kita bicarakan. Dari urusan kuliah sampai pengalaman masa lalu pun tak luput menjadi bahan obrolan kita.
***
“Ra, nanti sore aku ke tempatmu ya? Ada yang mau aku omongin nih,” pintanya sambil berjalan beriringan denganku berhamburan ke luar kelas.
“Nanti sore ya..? Em... iya deh, kebetulan aku juga lagi nggak ada kerjaan,” jawabku singkat sambil mengerutkan dahi, mengira-ira maksudnya.
***
Tok... tok... tok....
“Eh... kamu to Lin. Kenapa nih, kok kelihatannya serius gitu?”
“Gini Ra, tapi kamu jangan ngetawain aku ya? Em... aku mau belajar ngaji nih.”
“Lho, belajar ngaji kok diketawain sih! Emang bagian mana yang lucu?”
“Ya, bukannya gitu Ra. Sudah setua ini aku kan belum bisa ngaji, padahal Adikmu yang baru sepuluh tahun itu aja udah lancar ngajinya. Mbok ya kamu ajarin aku.... Gimana, kamu mau nggak...?”
“Ya... mau sih mau, tapi aku juga nggak bisa-bisa amat. Aku ajari sebisaku ya?”
“Nah gitu donk Ra, baru asyik namanya.”
“Tapi kok tumben kamu mau belajar ngaji. Emang ada angin apa?”
“Ya... sebetulnya aku udah bosen hidup kayak gini Ra. Banyak hal yang nggak aku dapetin dari kehidupanku sekarang. Secara materiil ya, tapi secara spirituil sama sekali nggak ada dan kamu sendiri kan tau Ibuku sudah lama meninggal...,” tukasnya yang terhenti tarikan nafas panjang.
Hening... sunyi.... Tiba-tiba aroma keseriusan terpancar kuat di wajah Lilin.
“Aku ingin membalas jasa Ibuku Ra...,” lanjutnya dengan diiringi mata yang mulai berkaca-kaca. “Aku ingin membahagiakannya, aku ingin Ibuku mendengar lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an yang kuucapkan. Aku ingin... aku ingin Ibuku tahu betapa aku menyayanginya. Aku sayang Ibuku Ra... aku rindu sekali padanya... rindu sekali...,” rintihnya yang terhadang oleh air mata yang meleleh menyusuri pipinya sambil berusaha menahan isak.
“Sudahlah Lin... yang tabah ya?... Allah Maha Mendengar. Dia mendengar semua niat baikmu dan pasti Ibumu pun akan tersenyum bangga melihatmu sekarang,” hiburku sambil kupeluk tubuhnya erat-erat seraya berdoa; ‘Ya Allah tabahkanlah hati temanku ini. Bimbinglah selalu ia ke jalan yang benar’. Amin.
***
Tidak kurang dari sebulan penuh aku mengajarinya mengaji. Jelas memang bukan pekerjaan yang mudah, tapi mengingat kemauannya yang begitu keras, tak rela aku mengganjalnya dengan keluhanku. Satu hal yang membahagiakan lagi, lambat laun Lilin mulai mengubah penampilannya. Meskipun belum memakai kerudung, tapi dia telah menanggalkan pakaian minimnya dulu dan berganti dengan busana yang longgar, berusaha untuk menutup aurotnya.
Tapi, akhir-akhir ini....
***
“Yang namanya Lilin mana ya?” seru dosenku dengan pandangan yang diarahkan ke seluruh sudut kelas sambil sesekali menggelengkan kepalanya.
Seluruh penghuni kelas diam, termasuk aku.
“Kalau sekali lagi dia tidak masuk, hampir dipastikan tidak akan diijinkan mengikuti ujian dan tentu saja kemungkinan untuk lulus sangatlah kecil,” lanjutnya dengan aroma ancaman yang begitu kental.
“Lilin... kemana saja kamu,” gumanku lirih. Entah kenapa sudah hampir dua bulan ini ia tidak masuk. Aku cari di rumah, rumahnya selalu sepi, aku telpon nggak diangkat, apalagi sms, sampai pegal tanganku nggak dibalas-balas. Padahal sebentar lagi mau ujian, jangankan ngumpulin tugas, masuk aja nggak pernah. “Oiya... terakhir kali aku ketemu dia kan di rumah Neneknya. Mungkin saja dia ada di sana...,” lamunku mengingatnya.
***
Sepi. Hanya serumpun melati dan sebatang pohon nangka besar yang menghadangku setiba di rumah neneknya Lilin.
“Assalamu’alaikum...,” sapaku seraya mengetuk pintu.
”Wa’alaikumsalam...,” sahutnya pelan disertai rintihan langkah yang terseret.
“Eh... Non Tera. Mari masuk. Gimana kuliahnya?” sambutnya dengan mata terbelalak kaget disertai tingkah laku kikuk, gelisah berusaha menenangkan perasaannya dengan berusaha tersenyum.
“Alhamdulillah, baik Nek. Lha Nenek sendiri gimana? Sehat kan?”
“Alhamdulillah, berkat doa Non Tera, Nenek sehat?” sahutnya sekali lagi dengan keramahan. Namun tetap saja nuansa kegelisahan begitu kuat melekat di wajahnya yang berukiran keriput.
Sejenak kami pun diam, sesekali aku menoleh padanya sambil mengerutkan dahi mengira-ira gerangan apa yang bersemayam di balik kegelisahannya. Mungkinkah ini mengenai Lilin..?
Menarik nafas panjang.
“Nek... Lilin mana Nek?” lanjutku dengan hati-hati seraya menghela nafas.
Hening... sunyi. Tampak wajah nenek yang tidak kuasa menatapku, tertunduk dengan kedua jemari tangan terkait membentuk simpul.
“Anu Non... sebentar ya...,” sahutnya sambil tiba-tiba bangkit dari bangku dan bergegas masuk ke dalam kamar.
Perasaanku seketika menjadi tak menentu. Entah untuk apa nenek masuk ke dalam kamar? Apa yang dia sembunyikan? Sebenarnya apa yang terjadi dengan Lilin? Apa...? Apa yang terjadi...?
“Ini Non, surat yang ditulis Lilin untuk Non Tera,” hardiknya menghalau kebimbanganku sambil menyodorkan sebuah amplop kecil seraya kembali duduk.
“Apa ini Nek?” tanyaku singkat dengan rasa penasaran yang telah menggebu-gebu.
“Ya... itu Non, saya juga ndak tahu apa isinya. Pokoknya buat Non Tera. Gitu pesannya,” jawaban singkat yang membuat dahiku semakin berkerut.
Perlahan-lahan kurobek amplop itu dengan hati-hati dan kukeluarkan isinya.
Sebuah foto berukuran postcard menyembul keluar. Senyum simpul terurai dari wajah Lilin dengan balutan baju muslim bermahkotakan jilbab putih bersih. Syukur berlipat aku haturkan. Baru kali ini kulihat Lilin memakai jilbab.
“Nek, ini...,“ ucapku memecah keheningan sambil menunjukkan foto itu kepada nenek.
“Ya, itu foto Lilin dua minggu lalu,” potong nenek.
Mengangguk sambil meraih secarik kertas yang bersanding dengan foto itu. Kuurai lipatannya dengan perlahan sambil menerka apa yang tergores di dalamnya.
To:
My Little Wing,
Lentera
Assalamu’alaikum,
Ra, aku cantik nggak pakai jilbab? Awas ya kalau kamu ngetawain aku. Aku seneng Ra, akhirnya aku bisa pake’ jilbab kayak kamu, meski mungkin aku hanya bisa sebentar make’nya.
Ra, makasih banyak ya, udah jadi temenku. Tenang aja mungkin aku nggak akan pinjem catetan kamu lagi kok? Sorry banget kalau selama ini aku punya salah sama kamu, terutama waktu aku pinjem catetan kamu yang kukembaliin dalam keadaan kucel, he... he... he.... Selamanya aku nggak akan nglupain kamu, seseorang yang bernama “Lentera”.
Jaga diri baik-baik ya Ra? Tenang aja, aku disini baik-baik aja kok. Aku rindu kamu Ra....
Wassalam
Kulipat kembali secarik kertas itu dengan ratusan tanda tanya berkecamuk di kepalaku. ‘Sebenarnya apa yang terjadi?’ begitulah mereka bersahut-sahutan.
“Nek, sebenarnya apa yang terjadi dengan Lilin? Dimana dia?” tanyaku memelas membujuknya agar bersedia mengusir tanda tanya yang berkecamuk di kepalaku.
“Em... sebenarnya sudah hampir setahun ini Lilin mengidap penyakit kanker dan kini dia...”
“Dia kenapa Nek? Kenapa dengan Lilin? Bagaimana keadaannya sekarang?” sahutku bertubi-tubi menyongsong ucapan nenek yang terputus.
“Lilin telah meninggal dunia seminggu lalu,” seru nenek.
“Innalillahi wa Innaillaihi Roji’un,” ratapku menyambut jawaban nenek
Seketika hening. Aku hanya tertunduk lemas sambil memejamkan mata berusaha keras agar air mataku tidak mengalir. Perlahan-lahan kupaksa menatap foto itu lagi. Kulihat senyumnya yang semakin lama semakin menjauh. Kudekap foto itu erat-erat, sangat erat, seakan tak ingin rasanya aku melepasnya.

0 komentar:

Posting Komentar